Hari ini...
Ibunda dari teman saya meninggal. Teman biasa, teman di kampus perjuangan. Sosoknya pun biasa. Tak terlalu menonjol di kalangan mahasiswa. Hanya staf di Badan Eksekutif Mahasiswa, bukan Ketua ataupun Staf Ahli. Saya jarang berbincang-bincang dengannya. Hanya tersenyum dan mengucap salam kala bertemu.
Hari itu..
Saya naik KRL Pakuan AC Express tujuan Bogor dengan harapan sampai tepat waktu di kampus. Langkah saya yang lebar-lebar dibalap seorang lelaki ketika berjalan di Balik Hutan. Berkaus biru dan bercelana bahan yang dilipat sedikit di bagian tumit kaki. Tas ransel coklat di bahu serta kacamata dengan gagang hitam menggantung di mukanya. Saya tengah berlari kecil saat itu. Maklum, jam menunjukkan pukul 10.40, saya telat 10 menit.
Dan ia melintas di hadapan saya. Tanpa satu teguran, salam, atau sesungging senyum. Wajahnya terlihat sendu, tak seperti biasa. Pandangannya melihat tanah. Guratan di mukanya menampakkan kesedihan. Tap! Mukanya menengadah! Saya mencoba menyapa. "Assa..." Terputus. Salam yang tak lengkap. Ia menghilang di balik tubuh mahasiswa yang berjalan. Cepat sekali langkahnya. Tatapan kuyu dan tubuh yang layu. Bahkan tak ada sinar di matanya. Hmm.. sejak kapan ia jadi tertutup? Ataukah ia ghadhul bashar*? (gak segitunya kali..)
Tadinya, keluarga teman saya ini berada dalam keadaan sangat berkecukupan. Karena suatu sebab, harta mereka habis. Semua benda di rumahnya terjual tak tersisa. Bahkan kadang, kami harus memberikan beras untuknya agar keluarganya dapat melangsungkan rutinitas sehari-hari. Adiknya berada di Medan, masih kecil. Baru memulai 1 SMP. Teman saya anak pertama. Karenanya, dialah yang harus menanggung beban keluarga di pundaknya yang ringkih. Ayahnya sakit, tak bisa bekerja. Ibunya harus merawat ayahnya. Untuk meneruskan kuliah, kami selalu berupaya menolong agar ia tak sampai putus arang seperti Lintang.
Status mahasiswa tentu tak akan dapat pekerjaan dengan gaji tinggi. Banyak orang berkata, "Belum lulus, bisa apa kamu?" Ia pun hanya mengandalkan pekerjaan sebagai guru les. Tentu saja tak cukup. Dan kami, saudaranya di jalan dakwah berusaha mendukungnya meskipun hanya sebongkah doa.
Walau begitu, ia selalu tampak semangat. Senyum selalu menghiasi wajahnya. Nada suaranya ramah dan bersahabat. Tak tampak kekecewaan pada Yang Kuasa. Guyonan segar meluncur begitu saja dengan tawa yang lepas. Setiap saya bertemu dengannya, ia akan memberikan sapaan khasnya. Saya ingat, suatu ketika, acara yang saya dan teman-teman buat defisit. Duh.. Bagaimana membayarnya? Dengan lembut ia berkata, "Ana punya tabungan Rp1,5 juta, ambil saja dulu, untuk balikinnya gampang." Kita semua hanya terdiam melongo. Gampang? "Tentu saja tidak Akhi, jangan, kami akan patungan saja," Ketua acara tersebut menimpali. Subhanallah.. bahkan ia menyodorkan satu-satunya rekening yang ia punya.
Hari ini..
"Assalamu'alaikum. Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Ibu saya telah meninggal dunia di Medan. Mohon doa teman-teman. Terima kasih."
Sms yang masuk ke Huawei begitu mengagetkan saya. Jadi? Hari itu? Kesenduannya? Tatapan sayu? Rabbi.. berikanlah dia kesabaran dan ketabahan dalam menjalani semua takdir ini. Berikanlah kekuatan padanya untuk menjalani hari-harinya. Berikanlah kemudahan dalam segala urusannya.
Semoga amal ibundanya diterima di sisi Allah SWT. Amin.
Karena hati tak selalu lurus
Karena mata tak selalu dalam malu
Karena mulut tak selalu dalam zikir
karena rambut tak selalu tersentuh air wudhu
Karena tangan, kaki, dan seluruh jasad tak selalu berada dalam ketaatan
Karena jiwa tak selalu tertarbiyah
Walau berada dalam lingkaran
*Gadhul bashar = menundukkan pandangan demi menjaga hati
No comments:
Post a Comment