Sunday, November 20, 2011

Asal-Usul Minangkabau

Menurut waris yang diterima dan cerita turun-menurun, Sultan Iskandar Dzulkarnaen yang kekuasaannya membentang luas dari Barat hingga Timur, suatu masa sampai ke Hindustan. Di sana ia menikah dengan seorang puteri terpandang. Dari pernikahannya, ia dikaruniai tiga orang anak yang masing-masing bergelar Sri Maharajo Alif, Sri Maharajo Dipang, dan Sri Maharajo Dirajo. Setelah beranjak dewasa mereka dititahkan untuk meninggalkan tanah kelahiran. Sri Maharajo Alif berangkat menuju Negeri Rum. Sri Maharajo Dipang berangkat menuju Negeri Cina. Sedangkan paling bungsu, Sri Maharajo Dirajo, berlayar menuju negeri di bagian tenggara yang tidak bernama. Selama pelayaran, mahkota yang ia bawa sempat jatuh di Laut Langkapuri, namun dapat diambil kembali. Dari tengah lautan rombongan itu melihat adanya daratan menonjol sebesar telur itik. Maka ia memutuskan untuk berlabuh.

Orang-orang membuka perkampungan dan memberinya nama Pariangan. Lambat laun surut, daratan bertambah, dan orang-orang pun bertambah banyak. Maka dibukalah kampong kedua, Padang Panjang. Daerah sekitarnya disebut dengan Luhak Tanah Data. Datuak Tantejo Gerhano membuat balairung nan tujuh belas ruang. Di balai itulah hukum pertama bermasyarakat dibuat.

Hukum pertama disebut Simumbang Jatuah. Kedua disebut Sigamak-gamak dan yang ketiga disebut Silamo-lamo.

Partamo banamo simumbang jatuah, hukum jatuah wajib dituruiki, takadia pantang disanggah, walau zalim wajib disambah, hukum putuih parentah jatuah, hukum pancuang paralu putuih, hukum bunuah matilah badan, hukum buang jauhlah diri, hukum buang tinggilah bangkai, tak buliah dibandiang lai. Hukum putuih badan bapancuang, bapanggang kadalam api, dengan sakiro kalahiran, lah banyak mati basabab. Hukum bak rupo mumbang jatuah, bak hujan jatuah kakasiak.

Artinya tidak ada pembelaan untuk dakwaan yang sudah dijatuhkan. Hukum dijatuhkan sesuai dengan tuduhan yang telah dijatuhkan. Walaupun hukuman itu seharusnya tidak jatuh.

Kaduo sigamak-gamak. Kok ado karajo nan dikakok ataupun barang nan dibuek, basicapek nan dahulu, basikuek nan mangabiah, mano nan tampak lah diambiak, mano nan ado dikarajoan, indak dikana awa jo akhia, raso pariso tak ditaruah, asa dapek lah manjadi, sabaiak-baiak pakarajoan, saelok-elok aka budi, hinggo mukaruah maso kini, baitu tasuo ditarambo.

Maksudnya inisiatif dalam setiap kewajiban. Melebihi kemampuan yang ada.

Katigo silamo-lamo. Babana kapangka langan, batareh kaampu kaki, basasi kaujuang tapak, nan kareh makanan takiak, kok lunak makanan sudu, nan pantai batitih, nan lamah makanan rajiah. Kok ado batang nan malintang, dikarek dikabuang-kabuang, diputuih dikuduang tigo. Kok lai dahan nan mahambek dikupak dipatah duo, kok tampak rantiang nan kamangaik disakah dipalituakan, atau runciang nan kamancucuak ditukua dipumpum ujuang. Nan tinggi timpo manimpo, kok nan gadang endan maendan, kok panjang kabek-mangabek, nan laweh soak-manyaok.

Artinya tolong-menolong. Mengatasi kekurangan dan rintangan dengan tolong-menolong. Semua orang mendapatkan bagian yang merata dan sama.

Ketika Sri Maharajo Dirajo digantikan oleh anaknya yang bernama Suri Dirajo, timbul pemikiran bahwa ketiga hukum itu tidak lagi cocok untuk dijalankan sebab banyak orang tidak bersalah terhukum. Banyak masyarakat yang tidak bisa memenuhi kewajiban sosialnya sebagaimana dipaksakan oleh hukum. Dan orang tidak bisa mendapat bagian yang sama dengan kerja yang berbeda. Lalu muncullah hukum baru bernama Tarik Baleh.

Undang-undang tarimo tariak baleh, kok palu babaleh palu, nan tikam babaleh jo tikam, hutang ameh baia jo ameh, hutang padi baia jo padi, hutang kato baia jo kato.

Undang-undang tarik balas. Palu dibalas dengan palu. Tikam dibalas dengan tikam. Hutang emas dibayar emas, hutang padi dibayar padi, hutang kata dibayar kata.

Dari zaman Suri Dirajo hingga Datuak Sri Maharajo hukum it uterus dipakai. Dari perkawinan Datuak Sri Maharajo dengan Puteri Indahjaliah lahirlah dua anak, Sutan Maharajo Basa dan Puteri Jamilan. Tetapi umur Datuak Sri Maharajo tidak panjang. Ia meninggal ketika dua anaknya masih kecil. Puteri Indahjaliah kemudian menikah lagi dengan seorang cerdik pandai, Cati Bilang Pandai. Dari perkawinan ini lahirlah seorang anak benama Sutan Balun.

Penduduk terus berkembang, daerah pun diperluas hingga dibukalah daerah baru di lubuak Ranah Agam yang kemudian dikenal dengan Luhak Agam. Dan diperluas lagi hingga kaki Gunung Sago, karena lima puluh kaum yang pindah ke sana disebut Luhak Limo Puluah Koto. Pada masa itu, masyarakat Minangkabau masih menganut garis keturunan patrilineal, belum matrilineal seperti sekarang.

Ketika menginjak usia dewasa, Sutan Maharajo Basa menggantikan ayahnya yang sudah meninggal. Masa antara ayahnya meninggal sampai ia layak menduduki warisan ayahnya, segala urusan diwalikan kepada Cati Bilang Pandai. Sementara itu, Sutan Balun pun sudah dewasa dan ia mewarisi kecerdasan ayahnya, Cati Bilang Pandai.

Kejahatan semakin banyak seiring meningkatnya jumlah penduduk. Akibat pelaksanaan hukum Tarik Baleh, orang yang mati pun berlipat ganda. Sebab setiap kali ada yang terbunuh sudah pasti yang membunuh harus dibunuh pula. Sutan Balun resah merasa hukum Tarik Baleh tidak lagi sesuai dengan perkembangan yang ada. Ia menyampaikan keresahannya itu kepada Sutan Maharajo Basa. Hal itu membuat Sutan Maharajo Basa sulit untuk bersikap. Dalam hati ia membenarkan pendapat Sutan Balun, tetapi di sisi lain pikiran buruk pun melintas dalam benaknya. Ia takut orang akan takjub pada pemikiran Sutan Balun dan itu bisa mengancam posisinya sebagai daulat tertinggi. Ia menolak dengan keras usul itu. Sutan Balun menyingkir untuk sekian waktu dengan merantau hingga ke Negeri Cina. Sutan Maharajo Basa menyesali perlakuannya pada adik tirinya itu. Tetapi nasi telah menjadi bubur.

Hingga masa berganti, Sutan Balun kembali dari perantauan. Hukum Tarik Baleh masih berlaku. Sutan Maharajo Basa begitu senangnya mendengar berita kembalinya adik satu ibunya itu. Ia mengutus dubalang untuk menjemput Sutan Balun. Malang tidak bisa ditolak, Si Kumbang, anjing milik Sutan Balun menggigit dubalang hingga terluka parah. Rakyat menunggu keadilan dan keberanian Sutan Maharajo Basa untuk menegakkan hukum Tarik Baleh walaupun kepada adik sendiri.

Sutan Maharajo Dirajo gamang, takut untuk kedua kalinya ia akan membuat adiknya sakit hati. Tetapi hukum harus ditegakkan, wibawa raja harus dipertahankan di mata rakyat. Siapapun yang bersalah harus dihukum. Sutan Balun diajukan ke pengadilan. Hukum Tarik Baleh siap dipakai. Sutan Balun tertawa geli, ia punya dalil agar hukum Tarik Baleh wajib diganti. Kalau hukum Tarik Baleh hendak ditegakkan, Sutan Balun tidak pantas untuk didakwa. Yang pantas didakwa adalah Si Kumbang. Kalau Tarik Baleh benar mau ditegakkan maka hukum yang harus dijatuhkan adalah dubalang berhak untuk menggigit Si Kumbang karena Si Kumbang telah menggigit dubalang. Tegaklah hukum Tarik Baleh.

Masalahnya, apakah mungkin dubalang mau menggigit Si Kumbang?

Akhirnya Sutan maharaja Basa sepakat dengan Sutan Balun untuk mengganti Undang-undang Tarik Baleh. Mulai sejak itu muncullah tuah sakato, musyawarah untuk mufakat. Bagian tengah Balairung sari nan tujuh belas ruang dibawa ke Pagarruyuang yang disebut sebagai Balai nan Saruang. Dijadikan sebagai tempat merancang undang-undang baru. Delapan ruang sisa ke kanan dijadikan sebagai tempat berunding. Delapan ruang sisa ke kiri dijadikan sebagai tempat mendengarkan suara rakyat. Musyawarah untuk menentukan undang-undang baru dimulai. Untuk kali pertama, cerdik pandai dan tokoh rakyat dilibatkan.

Sutan Balun berpendapat karena orang ramai yang akan memakai hukum, maka hukum haruslah sesuai dengan keinginan orang banyak. Timbul mufakat, Sutan Balun diangkat menjadi pucuk pimpinan untuk perubahan hukum Tarik Baleh. Pada pertemuan berikutnya yang dihadiri oleh pucuk pimpinan rakyat Luhak nan Tigo, diambil mufakat lagi untuk mentapkan Sutan Balun sebagai pucuk pembuat undang-undang sekaligus menegaskan kembali Sutan Maharajo Dirajo sebagai pucuk pimpinan pemerintahan. Dari dua orang ini kemudian muncul lareh nan duo. Sutan Balun menurunkan Lareh Bodi Caniago dari kata “budi nan curiga” terhadap hukum lama. Sedangkan Sutan Maharajo Dirajo menurunkan Lareh Koto Piliang berasal dari “kato pilihan”. Ketentuan hukum adat itu terus berlaku. Lareh nan duo, luhak nan tigo.

Tugas selanjutnya adalah membuat adat dan lembaganya. Sutan Balun membagi adat menjadi dua bagian. Pertama, adat nan dibuhua mati dan kedua adat nan babuhua sintak. Adat nan dibuhua mati adalah adat yang tidak lekang karena panas dan tidak lapuk karena hujan. Ketentuan adat itu adalah hukum wajib yang harus dijalankan setiap nagari. Sedangkan adat babuhua sintak adalah ragam adat yang dibuat oleh masing-masing nagari sesuai dengan kondisinya masing-masing.

Sebenarnya, bentuk inilah yang menjadi idaman Plato, welfare state.

Disadur dari Negara Kelima karya E.S. Ito