Tuesday, April 27, 2010

Haji

Judul di atas menjadi materi yang dibawakan oleh ustad favoritku, Ustad Fauzi Nurwahid, tanggal 25 April 2010 di Masjid Al-Muhajirin. Allah menerangkan rukun Islam ke lima ini dalam Qur'an surat Ali-Imran ayat 97:

"Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam."

Tujuan ibadah haji pada awalnya adalah untuk mentauhidkan Allah. Tapi, di pergeseran masa, tujuannya bergeser ke arah kemusyrikan. Di satu sisi, Quraisy melakukan thawaf di Baitullah. Di sisi lain, mereka menyembah berhala, jumlahnya tak kurang dari 360 berhala.

Ada kesulitan bagi Rasulullah untuk menjalankan ibadah haji karena ibadah haji haruslah dilaksanakan di Mekkah. Masalahnya adalah kondisi kota Mekkah saat itu dikuasai kaum musyrik yang sering melakukan peperangan dengan umat muslim, diantaranya adalah perang Badar, Uhud, dan Khandaq.

Rasulullah saw kemudian menunaikan ibadah haji di tahun 6 hijriah. Di tahun yang sama juga dikenal Bai'atul ridwan, yakni bai'at umat muslim di Hudaibiyah untuk memperjelas kabar Utsman bin Affan. Pohon tempat bai'atul ridwan ini kemudian dianggap keramat oleh beberapa orang. Sehingga, di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab pohon tersebut ditebang.

Perjanjian Hudaibiyah sendiri melibatkan pihak muslim dan pihak musyrik. Sebagai wakil di pihak muslim ialah Rasulullah saw, sementara wakil kaum musyrik Quraisy ialah Suhail bin Amr dengan notulen Ali bin Abi Thalib. Ada beberapa poin dalam perjanjian Hudaibiyah, yakni:

1. Perjanjian ini ditulis dengan kata "Bismika Allahumma" bukan dengan "Bismillahirrahmanirrahim".
2. Kata "Rasulullah" diganti menjadi "Muhammad bin Abdullah".
3. Adanya gencatan senjata selama 10 tahun ke depan.
4. Saling mengamankan satu dengan yang lain.
5. Jika ada penduduk Mekkah yang datang ke Madinah, ia harus dikembalikan. Namun, jika ada penduduk Madinah yang datang ke Mekkah ia tidak perlu dikembalikan.
6. Di tahun ke-6 Hijriah, penduduk Madinah tidak boleh masuk ke Mekkah.

Karenanya, tahun ke-6 Hijriah disebut juga sebagai tahun umrah Hudaibiyah.

Tahun ke-7 Hijriah disebut sebagai tahun umrah Qadha (umrah pengganti). Tahun ke-8 Hijriah Rasul saw berangkat umrah ke Mekkah dengan 10.000 umat muslim. Pada tahun ini dikenal Fathul Makkah, kaum Quraisy yang masuk Islam berjumlah 2200 orang. Pada tahun ini umrahnya dinamakan umrah Ji'rona.

Tahun ke-9 Hijriah, nabi tidak berangkat ke Mekkah, melainkan mengutus Abu Bakr Ash-Shiddiq untuk memimpin pemberangkatan haji. Di tahun ke-10 Hijriah, Nabi Muhammad saw melaksanakan hajinya yang terakhir. Peristiwa ini dikenal dengan nama Haji Wada'. 82 hari setelah melakukan haji, rasul kemudian wafat.

Ada tiga indikator haji mabrur, yakni aqidah yang lurus, akhlak yang baik dan cara (kaifiyah) yang tepat. Sementara dalam bacaan talbiyah terkandung dua pernyataan yakni pernyataan kepasrahan dan tauhid (tidak menyekutukan Allah).

Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (Qs. Al-Isra’: 81)

Monday, April 19, 2010

I Like This Quote

"Bisnis itu ibarat membuat kopi. Agar rasanya enak tidak cukup kopi dan gula, melainkan orang yang ahli dalam mengaduknya. Bila kopi adalah masyarakat dan gula adalah uang, maka proses pengadukan adalah perputaran ekonomi. Pebisnis bertugas mengaduk kopi agar terasa nikmat. Tidak terlalu cepat agar tidak tumpah, tidak terlalu lama agar gula menyatu dengan kopi. Selain itu, tetap harus dikontrol agar rasa kopi menjadi pas."
-Erick Thohir-


ps. So, let's make some coffee, goodluck! :)

Sunday, April 11, 2010

Quote of The Day

"Apabila dikumandangkan adzan, syaithan lari terbirit-birit, bahkan terkentut-kentut, sampai ia tidak mendengar adzan itu. Apabila adzan selesai, syaithan datang lagi, dan apabila dikumandangkan iqamat, syaithan lari lagi, dan apabila selesai iqamat, syaithan datang lagi dan menyelinap ke dalam jiwa manusia dan berkata, "Ingatlah kamu ke sana, ingatlah kamu ke sini." Sehingga orang itu tak tahu lagi berapa raka'at ia shalat."
[HR. Bukhari]

Sunday, April 4, 2010

Nadzar

Tulisan ini saya peruntukkan pada Amel, teman saya yang bertanya perihal janji dan nadzar.

Definisi Nadzar

Nadzar adalah pembebanan diri (pengharusan) yang dilakukan oleh seorang mukallaf (muslim) untuk melakukan suatu perkara yang tidak wajib baginya karena Allah swt dengan menggunakan redaksi yang menunjukkan hal tersebut, seperti, "Karena Allah, aku wajib mengerjakan hal ini", dan semisalnya.

Syariat Membenarkan Nadzar

QS. Al-Baqarah ayat 270:
"Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nadzarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya."

QS. Al-Insan ayat 7:
"Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana."

Rasulullah saw bersabda,
"Barangsiapa yang bernadzar untuk melakukan ketaatan kepada Allah maka hendaknya mengerjakannya, tapi siapa yang bernadzar untuk melakukan maksiat kepada Allah maka tidak boleh melakukannya." (HR. Bukhari)

Seluruh ulama sepakat (ijma') bahwa secara umum, nadzar adalah sah dan wajib dipenuhi.

Macam-Macam Nadzar

Nadzar terdiri dari dua macam, yakni:
1. Nadzar Mutlak
Maksudnya adalah mengharuskan diri sendiri untuk melakukan sesuatu tanpa mengaitkannya dengan apapun. Misalnya, dengan mengatakan, "Karena Allah, aku harus shalat dua rakaat." Kebanyakan ulama menganggap nadzar seperti ini makruh, tetapi mereka menyatakan bahwa pelakunya tetap wajib memenuhi nadzarnya dan mendapat pahala karena mengerjakannya. Sedangkan sebagian ulama lainnya menyatakan bahwa nadzar tersebut tidak wajib dipenuhi melainkan dianjurkan saja. (Dikutip dari Al-Muhalla, vol. 8 hal. 2, Nailul Authar, vol. 8 hal. 277 dan Subulus Salam,vol. 4, hal. 1446)

2. Nadzar Mu'allaq
Maksudnya adalah mengharuskan diri sendiri untuk mengerjakan sesuatu dan mengaitkannya dengan kejadian tertentu, seperti mendapat nikmat atau terhindar dari bencana. Misalnya, dengan mengatakan, "Kalau Allah menyembuhkan penyakitku, maka aku harus memberi makan orang miskin." Pada dasarnya, nadzar mu'allaq adalah makruh bila diucapkan sejak awal (sebelum terjadi sesuatu). Nabi saw bersabda, "Sesungguhnya nadzar tidak mendahulukan dan tidak pula menunda sesuatu, melainkan sesuatu yang dikeluarkan akrena nadzar dilakukan oleh orang yang kikir." (HR Bukhari-Muslim)

Hukum-Hukum Seputar Nadzar


1. Orang yang bernadzar untuk melakukan ketaatan kepada Allah maka wajib memenuhinya. Dalilnya adalah sabda Rasulullah saw, "Barangsiapa yang bernadzar untuk melakukan ketaatan kepada Allah, maka hendaknya mengerjakannya." (HR. Bukhari). Jika ia tidak mampu memenuhinya, maka harus menebusnya dengan kaffarah sumpah. Ini berdasarkan sabda Rasulullah saw, "Kaffarah nadzar adalah kaffarah sumpah." (HR. Muslim dan Nasa'i)


2.Orang yang bernadzar untuk melakukan perbuatan maksiat maka haram memenuhinya dan wajib menebusnya dengan kaffarah. Dalilnya adalah sabda Rasulullah saw,"Dan barangsiapa yang bernadzar untuk melakukan maksiat kepada Allah maka tidak boleh melakukannya." (HR. Bukhari). Rasulullah saw juga bersabda, "Tidak ada nadzar untuk maksiat dan kaffarahnya adalah kaffarah sumpah." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, dan Ibnu Majah).

3. Orang yang bernadzar untuk melakukan suatu perbuatan yang mubah dan mampu dikerjakan maka dia wajib memenuhinya atau menebusnya dengan kaffarah. Karena, nadzar yang mubah adalah nadzar yang dibenarkan, sehingga termasuk dalam pengertian umum nadzar yang diperintahkan untuk dipenuhi (Dikutip dari Ar-Raudhah An-Nadiyyah, vol. 2 hal. 177).

Dalilnya adalah hadits yang menceritakan tentang seorang wanita berkulit hitam yang berkata kepada Rasulullah saw,"Wahai Rasulullah, aku telah bernadzar kalau Allah mengembalikanmu kepada kami dalam keadaan selamat maka aku akan menabuh rebana dan bernyanyi di depanmu." Rasulullah saw berkata, "Kalau memang engkau telah bernadzar, maka lakukanlah. Tapi jika tidak jangan lakukan." Wanita itu pun mulai menabuh rebana... (Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Abu Dawud dengan sanad hasan).

4. Orang yang bernadzar melakukan suatu perbuatan yang disyariatkan oleh Allah atau mengerjakan perbuatan yang dibenarkan syariat tapi tidak sanggup mengerjakannya, maka dia tidak perlu mengerjakannya. Akan tetapi, wajib membayar kaffarah sumpah. Suatu ketika, ada yang menyampaikan kepada Rasulullah saw bahwa Abu Isra'il bernadzar akan tetap berdiri dan tidak akan duduk, tidak berbicara dan terus berpuasa.

Rasulullah sawb bersabda, "Suruhlah dia agar berbicara, berteduh, duduk, dan tetap menyelesaikan puasanya." (HR. Bukhari, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).

Dalam sebuah hadits tentang orang yang bernadzar untuk pergi ke Mekkah (Ka'bah) dengan berjalan kaki, Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya, Allah tidak membutuhkan (cara ibadah) yang dilakukan oleh orang ini dengan menyiksa dirinya sendiri." Lalu, beliau menyuruhnya menunggang kendaraan. (Diriwayatkan Bukhari, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).

Kewajiban membayar kaffarah dalam kondisi seperti ini berdasarkan kepada pengertian mutlak hadits-hadits yang mengharuskannya. Wallahu a'lam.

5. Orang yang bernadzar untuk melakukan sesuatu yang tidak ditentukan langsung harus menebusnya dengan kaffarah sumpah. Misalnya, "Karena Allah aku bernadzar" tanpa menyebutkan bentuk nadzarnya. Menegnai hal ini Nabi saw bersabda, "Kaffarah nadzar yang tidak dijelaskan adalah kaffarah sumpah." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, dan Ahmad).

6. Bagaimana jika ada yang bernadzar menyedekahkan seluruh hartanya?
Apabila orang tersebut benar-benar kuat dalam keimanan, tawakkal, kesabaran, dan keyakinannya kepada Allah swt serta tidak membahayakan anak-anaknya, maka boleh menyedekahkan seluruh hartanya seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar ra. Tetapi apabila kondisinya tidak seperti itu dan dikhawatirkan akan membahayakan anak-anaknya, maka dia cukup menyedekahkan satu per tiga (1/3) hartanya dan harus membayar kaffarah sumpah.

Ketika mengetahui Allah menerima tobatnya, Ka'ab bin Malik berkata kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya salah satu bentuk tobatku adalah memberikan seluruh hartaku sebagai sedekah untuk Allah dan Rasulnya." Nabi saw berkata, "Pertahankan sebagian hartamu, karena itu lebih baik bagimu." Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah saw berkata, "Tidak." Ka'ab bertanya lagi, "Setengahnya?" Beliau menjawab, "Tidak." Ka'ab bertanya lagi, "Sepertiga?" Beliau menjawab, "Ya." (HR. Bukhari dan Muslim)

7. Orang yang mengucapkan nadzar lalu meninggal sebelum memenuhinya, maka wali orang tersebut harus memenuhinya. Ibnu Abbas ra berkata, "Sa'ad bin Ubadah ra meminta fatwa Nabi saw mengenai nadzar ibunya yang belum dipenuhi sampai meninggal dunia. Maka, Rasulullah saw berkata, "Lunasilah nadzarnya." (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim). (Catatan nadzar di sini lebih kepada hutang atau pinjaman)

8. Nadzar bukan karena Allah adalah perbuatan syirik. Karena itu, tidak boleh bernadzar karena selain Allah. Contohnya adalah mengatakan, "Jika anakku sembuh, maka aku harus menyembelih kurban untuk Sayyid al-Badawi!", dan redaksi lain yang mirip dengannya. Pernyataan ini sama dengan sumpah dengan menyebut selain Allah, sehingga termasuk perbuatan syirik.

Ash-Shan'ani rahimahullah berkata, "Nadzar-nadzar yang berkembang pada saat sekarang ini yang dilakukan terhadap kubur, makam, dan orang-orang yang telah meninggal jelas sekali keharamannya. Karena orang yang bernadzar seperti itu meyakini bahwa orang yang berada di dalam kuburan tersebut dapat memberi manfaat dan mudharat, menganugerahkan kebaikan dan menolak kejahatan, memulihkan penyakit, dan menyembuhkan orang sakit. Padahal itulah yang dilakukan oleh para penyembah berhala. Oleh sebab itu, nadzar seperti ini hukumnya haram seperti halnya nadzar kepada berhala. Haram juga mengambil barang yang dinadzarkan karena merupakan bentuk pengakuan terhadap syirik.

Nadzar seperti ini harus dilarang dan dijelaskan bahwa ia termasuk perbuatan haram yang paling besar dan merupakan perbuatan para penyembah berhala. Masalahnya, waktu telah berjalan begitu lama sehingga yang baik dianggap mungkar sedangkan yang mungkar dianggap baik, lalu maraklah orang-orang yang menyatakan dirinya juru kunci untuk pelaksanaan ritual nadzar kepada orang-orang yang telah meninggal. Mereka menyediakan berbagai bentuk jamuan kepada orang-orang yang mengunjungi kuburan dan menyembelih hewan di depan pintu gerbangnya. (Dikutip dari Subulus Salam vol. 4 hal. 1448)

Sumber: Fiqh Sunnah untuk Wanita karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim