Saturday, November 1, 2014

Tafsir Al-Ma'arij ayat 1-5

Tanggal 12 Oktober lalu untuk pertama kalinya saya mengikuti kajian Persistri di Garut. Pembicaranya adalah mertua saya sendiri, Ibu Ai Nurjannah. Materi yang dibawakan adalah tafsir Qur'an surat Al-Ma'arij ayat 1-18. Selain mengaji dan mengkaji, saya juga belajar dua bahasa: Arab dan sunda. Rasanya senang sekali ikut menimba ilmu kembali. Inilah hasil kajian yang berhasil saya rangkum.

Surat Al-Ma'arij merupakan surat ke-70 di dalam Al-Qur'an. Surat ini termasuk surat Makkiyah dengan 44 ayat. Tanda dari surat Makkiyah ialah ayat-ayatnya yang pendek, membahas tentang ketauhidan, serta banyak berisi seruan tentang surga dan neraka.

Al-Ma'arij merupakan kata jamak, berasal dari kata mi'raju yang berarti tempat naik. Al-Ma'arij sendiri artinya adalah tempat-tempat naik. Mi'raju berasal dari kata 'araja yang artinya naik.

Surat Al-Ma'arij diturunkan saat seorang kaum kafir Quraisy bernama An-Nadzhor bin Al-Harits bertanya kepada Rasulullah saw tentang adzab. Hal ini dijelaskan dalam Al-Ma'arij ayat 1,

"Seseorang bertanya tentang adzab yang akan terjadi."

Orang yang dimaksud dalam Qur'an tersebut adalah An-Nadzhor bin Al-Harits, seorang pemuka terpandang dari kaum Quraisy. Jenis pertanyaan ini termasuk dalam isti'dza (mengolok-olok).

Ayat kedua dan seterusnya memberikan jawaban atas pertanyaan pemuka Quraisy tersebut. 

"Bagi orang-orang kafir, yang tidak seorangpun dapat menolaknya." 

Adzab diperuntukkan bagi orang-orang kafir, tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalaunya. Lalu mengapa surat ini dinamakan surat Al-Ma'arij? Allah menyebut kata "al-ma'arij" di ayat berikutnya.

"(Azab) dari Allah, yang memiliki tempat-tempat naik."

Apa itu tempat-tempat naik? Ayat keempat menggambarkan hal ini,

"Para malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam sehari setara dengan lima puluh ribu tahun."

Ternyata, yang dimaksudkan tempat-tempat naik ialah langit. Tempat dimana para malaikat dan ruh menghadap Allah, dalam ukuran dunia sehari dalam perjalanan tersebut setara dengan 50 ribu tahun.

Maka di ayat kelima, Allah memberikan penghiburan kepada Nabi Muhammad saw,

"Maka bersabarlah engkau (Muhammad) dengan kesabaran yang baik."

Disini, kita akan mengetahui bahwa sabar pun terbagi, ada sabar yang baik (shabran jamila) dan sabar yang buruk (shabran qabila). Lalu, bagaimana bentuk sabar yang baik itu? Sabar yang baik adalah sabar yang tidak berkeluh kesah, sabar yang menenangkan. Seseorang mungkin saja terlihat sabar, tapi di dalam hatinya ia masih mengumpat dan mendumel. Ini dinamakan sabar yang buruk. Sabar yang baik adalah kesabaran yang bermuara pada kepercayaan akan qadha dan qadar Allah. Bahwa apapun kejadiannya, ia juga mengeluh. Namun ia mengeluh pada satu dzat, Allah ta'ala.