Sunday, May 30, 2010

Kesejahteraan Pegawai dalam Perspektif Agama dan Langkah Peningkatannya

Ceramah ini disampaikan oleh Ustad Didin Hafidhuddin, Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). Materi ini disampaikan dalam acara Dialog Interaktif Etika Birokrasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, Selasa, 25 Mei 2010.

Setiap orang yang beriman, menurut Ustad Didin, pasti mengharapkan kesejahteraan di dalam hidupnya, baik kesejahteraan pribadi, keluarga, masyarakat, berbangsa dan bernegara. Demikian pula kesejahteraan lahiriyah-bathiniyyah dan dunia serta akhirat. Hal ini sejalan dengan doa yang selalu dipanjatkan oleh setiap orang yang beriman yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 201-202.


“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka." Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian dari apa yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya."

Kesejahteraan yang dimaksud dalam ayat tersebut pun adalah kesejahteraan yang bukan semata-mata bersifat material, akan tetapi bersifat nilai dan spiritual. Di dalam al-Qur’an surat Quraisy [106] ayat 1-4 Allah swt berfirman:

“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy. (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka`bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.”

Dari ayat di atas, ada tiga indikator kesejahteraan, yakni:

1. Dapat beribadah dengan baik kepada Allah swt, dapat melakukan pengabdian kepada-Nya dan jauh dari kemusyrikan

2. Terbebas dari kelaparan dan kekurangan, serta terpenuhinya kebutuhan secara layak, baik dan wajar

3. Terbebas dari rasa kekhawatiran dan ketakutan, baik yang menyangkut dirinya maupun keluarganya. Tidak ada kekhawatiran misalnya, ketika memiliki anak untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan tidak ada kekhawatiran ketika dalam kondisi sakit, karena mudahnya hal-hal yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan kesehatan.

Rasulullah saw bersabda, “Ada empat macam diantara kebahagiaan manusia: (Memiliki) isteri/suami yang shaleh/ah (bertanggungjawab), (Memilki) anak-anak yang baik (masa depannya terbina dengan baik), (Memiliki) sahabat (dan lingkungan pergaulan) yang baik, dan rizkinya (mata pencaharian) berada dalam negerinya sendiri (mudah cara mendapatkannya).” [HR. Ad-Dailamy dari Ali]

Kesejahteraan dalam pandangan ajaran Islam, disamping kesejahteraan yang bersifat material, juga kesejahteraan yang bersifat spiritual dan rohaniyah, kesejahteraan yang mencakup semua bidang kehidupan, kesejahteraan yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan manusia, dan kesejahteraan yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah swt (yaitu dapat melakukan pengabdian kepada-Nya dengan benar dan sungguh-sungguh).

Tidak dikatakan sejahtera walaupun secara materi cukup baik dan terpenuhi kebutuhannya bila seseorang tidak pernah beribadah kepada Allah SWT. Sebaliknya, juga tidak dikatakan sejahtera walaupun bisa beribadah kepada Allah SWT, tetapi untuk pemenuhan kebutuhan sehari-harinya dia mengalami kesulitan yang luar biasa. Karena kesulitan dalam kehidupan sering menghantarkan seseorang pada kekufuran.

“Rasulullah Saw. bersabda: “Hampir saja kefakiran material (apabila tidak disertai dengan keimanan yang kuat) akan melahirkan kekufuran.” (HR. Abu Na’im dan Ahmad bin Muni’ dari Anas).

Menurut Direktur Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun dan Guru Besar Institut Pertanian Bogor ini, ada delapan langkah dalam meningkatkan kesejahteraan baik sebagai individu atau bersama-sama, yakni:

1. Meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah swt. Ibadah yang baik akan melahirkan ketenangan dan dari ketenangan tersebut akan melahirkan semangat dalam melakukan pekerjaan.

Allah swt berfirman dalam QS. Al-Mukminun [23] ayat 1-4:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat."

Dari ayat tesebut, kita dapat melihat bahwa orang-orang mukmin yang sukses dan yang akan mendapatkan kesejahteraan adalah orang-orang yang khusyu di dalam shalatnya, orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan maupun perkataan yang tidak ada manfaatnya dan orang-orang yang senantiasa mau mengeluarkan serta menunaikan zakat.

2. Meningkatkan etos kerja. Rizki akan diberikan oleh Allah swt dan kesejahteraan akan dilimpah-Nya tergantung pada usaha yang dilakukan manusia seperti termaktub dalam QS. Al-Baqarah ayat 202. Banyak sekali ayat al-Qur’an dan hadits nabi yang menyuruh umat Islam untuk memiliki etos kerja yang tinggi dan tidak menjadi orang yang malas.

"Rasulullah bersabda: ”Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari (sifat) lemah, malas, takut, bakhil (pelit), dan pikun. Aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, siksa api neraka. Dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah hidup (ketika didunia) dan fitnah mati (di dalam kubur).” (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Memiliki motivasi untuk selalu berusaha meningkatkan kuaalitas pekerjaannya sehingga pekerjaan yang dilakukannya menjadi pekerjaan yang ihsan dan terbaik; pekerjaan yang itqan; pekerjaan yang maksimal dan professional. Allah swt sangat mencintai hamba-Nya atau seseorang yang jika melakukan pekerjaan dilakukannya dengan itqan (sempurna).

"Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah swt mencintai seorang hamba yang apabila ia bekerja, ia menyempurnakan pekerjaannya (bekerja secara profesional).” (HR. Thabrani).

4. Selalu mengaitkan pekerjaan yang dilakukannya dengan keimanan kepada Allah swt. Artinya pekerjaan yang dilakukan tersebut adalah bagian dari ibadah kepada-Nya. Pekerjaan yang disamping menghasilkan pendapatan juga di dalamnya terdapat unsur keimanan dan penguatan ketaqwaan serta rasa syukur kepada-Nya.

Allah swt berfirman dalam QS. An-Nahl [16] ayat 97:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”

5. Meningkatkan kualitas pengetahuan terhadap hal-hal yang menjadi tugas dan pekerjaannya sehingga pekerjaan tersebut betul-betul berdasarkan pengetahuan dan keterampilan yang memadai (professional). Oleh karena itu, kita wajib untuk terus meningkatkan ilmu pengetahuan dibidang kita masing-masing. Nabi Yusuf AS, contohnya, adalah salah seorang nabi yang berhasil meningkatkan dan membangun kesejahteraan masyarakatnya, karena beliau memiliki dua sifat utama, yaitu hafidzun (amanah dan terpercaya) dan ‘alimun (berpengetahuan dan professional).

Allah swt berfirman dalam QS. Yusuf [12] ayat 55:
“Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan."

6. Berusaha mencari rizki yang halal. Dengan rizki yang halal, meski jumlahnya relatif tidak banyak, akan terdapat keberkahan yang akan melahirkan kesejahteraan. Sebaliknya, jika rizki yang didapat berasal dari cara yang haram (baik materi maupun caranya) walaupun jumlahnya banyak, di dalamnya dipastikan tidak ada unsur keberkahan. Pada akhirnya akan melahirkan hal-hal yang merugikan dan mencelakakan, bagi baik dirinya, keluarganya maupun juga masyarakat dan lingkungannya.

Allah swt berfirman dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 188:
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”

Rasulullah bersabda: “Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu (barang) yang haram, maka sesungguhnya neraka lebih utama baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

7. Selalu meningkatkan kualitas amanah yang diembannya. Orang-orang yang jujur dan amanah dalam melaksanakan tugasnya akan selalu mendapatkan rizki dari Allah swt. Sebaliknya orang yang khianat, walaupun dia memiliki harta yang banyak, maka hartanya tersebut akan habis tanpa ada manfaatnya dan tidak bernilai di hadapan Allah swt.

Rasulullah bersabda: “Jauhilah oleh kalian sifat tamak, karena sesungguhnya sifat tersebut adakah kefakiran yang nyata.” (HR. Thabrani)

Rasulullah bersabda: “Sifat amanah dan jujur itu akan menarik rizki, sedangkan khianat itu akan menarik (mengakibatkan) kefakiran.” (HR. Dailamiy)

8. Meningkatkan teamwork/kerjasama yang baik antara satu dengan yang lain. Insya Allah seberat apapun tugas yang diemban, kalau dilakukan secara kerjasama, saling bantu-membantu, saling tolong menolong dan saling bersinergi, akan melahirkan kebaikan-kebaikan dan ujungnya pasti akan melahirkan kesejahteraan. Kita diperintahkan untuk berta’awun dan saling tolong-menolong antara satu dengan yang lainnya.

Allah swt berfirman dalam QS. Al-Maidah [5] ayat 2:
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma`ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah [9]: 71).

Wallahu alam bis shawab.

"Rizki itu ada dimanapun dan kapanpun. Apapun yang melekat pada diri kita, itu adalah rizki."
-Ustad Didin Hafidhuddin-

Sunday, May 23, 2010

Wanita dalam Pandangan Jahiliah

Seperti biasa, setiap Ahad minggu ke empat saya mengikuti pengajian di dekat rumah. Pengajian kali ini dibawakan oleh Ustad Fauzi Nurwahid dengan materi "Wanita dalam Pandangan Jahiliah". Jahiliah berasal dari kata "jahil" yang berarti bodoh. Ada berbagai macam kebodohan yang dilakukan bangsa Quraisy sebelum Islam datang, salah satunya mengenai wanita.

Penilaian seorang perempuan, kata Ustad Fauzi, tentu saja berbeda sesuai latar belakang agama, budaya, bangsa, dan negaranya masing-masing. Perempuan di jaman jahiliyah dinilai sangat rendah harkat dan martabatnya. Allah berfirman dalam Qur'an Surat An-Nahl ayat 58-59:

"Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) wajahnya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya kabar yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu."

Allah swt juga berfirman dalam QS. At-Takwir ayat 8-9:

"Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh?"

Suatu hal yang sudah terkenal pada orang jahiliah bahwa mereka suka memadu istri-istri tanpa batas yang pasti, mereka juga suka mengawini dua saudari (kakak beradik), serta mereka juga biasa memperistri istri-istri bapak-bapak mereka, apabila bapak-bapak mereka menceraikannya atau meninggal dunia. Dan thalak berlaku untuk laki-laki tanpa ada batas yang ditentukan, maka mereka biarkan istri-istri mereka dengan terkatung-katung, demikian pula status wanita yang merdeka lebih baik keadaannya daripada hamba sahaya.

Abu Daud telah meriwayatkan dari Aisyah ra bahwasanya pernikahan di zaman jahiliah ada empat macam, yakni: Diantaranya nikah orang jaman sekarang dimana seorang laki-laki meminang lewat walinya, maka ia memberikan maharnya kemudian ia menikahinya.

Nikah yang lainnya adalah seorang laki-laki berkata kepada istrinya apabila suci/bersih dari haidnya: aku kirim kau kepada si fulan dan bergaullah dengannya (yakni pergaulan sebagai suami istri), Sementara suaminya menjauh dari dia dan tidak pernah menyentuhnya sehingga jelas (terlihat) kandungannya. Lalu jika suaminya masih suka ia menggaulinya kembali. Ia berbuat demikian hanya mengharapkan agar mendapat anak, nikah yang demikian itu disebut nikah istibdho'.

Nikah yang lainnya adalah suatu kaum berkumpul kurang dari sepuluh orang, mereka masuk ke rumah seorang perempuan, mereka semua menggaulinya. Apabila si perempuan itu hamil dan melahirkan, setelah lewat beberapa malam dari waktu melahirkan, ia memanggil mereka, maka tak seorang pun bisa menolak sehingga mereka berkumpul. Ia berkata kepada mereka: sungguh kalian telah mengetahui urusan kalian, aku telah melahirkan dan ia itu putramu wahai fulan, maka ia menyebutkan orang yang ia suka diantara mereka dengan menyebut namanya serta kemudian anak itu diikutsertakan kepadanya.

Cara nikah yang keempat adalah berkumpul orang banyak dan mereka menggauli seorang perempuan dimana si perempuan itu tidak menolak setiap laki-laki yang mendatanginya. Mereka (perempuan) itu adalah pelacur. Mereka memasang bendera di pintu-pintu mereka sebagai tanda bagi orang yang memungkinkan. Bila hamil lalu melahirkan kandungannya mereka berkumpul di tempat perempuan itu dan mereka memanggil seseorang yang bisa mengenal persamaan/kemiripan anak dengan bapaknya dilihat dari tanda-tanda yang tersembunyi, kemudian mereka menghubungkan/mengikutsertakan anak tersebut kepada orang yang mereka lihat (ada persamaan), maka ia mengambilnya dan memanggil anaknya, ia tidak bisa menolak hal itu. Maka ketika Allah mengutus Muhammad saw, beliau menghancurkan/menghapuskan cara pernikahan jahiliah semuanya kecuali cara nikah orang-orang Islam sekarang ini. (HR. Abu Daud)

Ketika Islam masuk, Islam kemudian menghapuskan berbagai perlakuan buruk terhadap wanita, diantaranya:
1. Islam melarang keras kebiasaan membunuh anak perempuan. Allah berfirman dalam Qur'an Surat Al-Isra ayat 31:

"Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rizki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar."

2. Tidak membolehkan seorang suami memiliki istri dengan jumlah yang tak terbatas. Allah berfirman dalam Qur'an Surat An-Nisa ayat 3:

"Dan jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim."

3. Seorang laki-laki tidak boleh menikahi ibunya atau menghimpun dua perempuan yang bersaudara. Allah swt berfirman dalam Quran Surat An-Nisa ayat 23:

"Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."

Demikianlah nilai seorang perempuan di zaman jahiliah. Begitu rendah, tak ada harganya. Anak perempuan tidak berhak mendapat warisan sementara anak angkat laki-laki mendapatkan warisan.

Akankah kita biarkan zaman jahiliah (modern) memasuki kita kembali?