Monday, January 12, 2015

Sekufu

Dulu, sebelum hidup menggenap bersamamu, aku meyakini bahwa laki-laki yang baik hanya diperuntukkan untuk perempuan yang baik pula. Akupun sibuk memperbaiki diri, berusaha sebisa mungkin menjadi pasangan yang layak bagi siapapun yang Allah kirim untuk menggenapiku. Kamu pun datang dalam kehidupanku, menggenapkan sebagian diriku yang memang baru bisa lengkap dengan adanya kamu. Catat ya, lengkap bukan sempurna.

Sepasang manusia yang hidup menggenap tidak lantas menjadi sempurna, karena memang di dunia ini tidak ada manusia yang sempurna, termasuk manusia yang sudah menggenapkan dirinya melalui ikatan suci pernikahan. Sepasang manusia yang hidup bersama bukan hanya memiliki kelebihan yang akan saling melengkapi, tapi juga kekurangan yang lebih banyak, karena kekurangannya berasal dari dua orang yang harus ditanggung dan diperbaiki bersama. Ringan dan beratnya ditentukan dari seberapa besar tanggungjawab yang kita miliki terhadap diri kita juga pasangan yang menggenapi kita. Bukan ditentukan dari seberapa besar cinta kita. Ah, untuk beberapa hal, cinta memang tak efektif untuk menyelesaikan masalah. Jadi, tak perlulah berlebihan mengagung-agungkan cinta.

Lagi-lagi kamu, makhluk yang Allah jadikan perantara langsung ataupun tidak untuk menyadarkanku, meluruskan banyak pemahaman yang awalnya aku pikir harusnya begitu, tapi tidak begitu pada kenyataannya. Keyakinanku, tentang laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik dan sebaliknya, sempat memudar di awal-awal hidup menggenap bersamamu. Bagaimana mungkin? Kamu, laki-laki yang aku harapkan ‘sekufu’ denganku, yang juga bersusah payah memperbaiki dan menyiapkan diri untuk hidup menggenap, ternyata seperti itu, memiliki kekurangan dan melakukan hal-hal yang seharusnya tak kamu lakukan, yang aku pun tak pernah menduga kalau ternyata kamu seperti itu. Dan jujur, aku kecewa menyaksikannya dengan mata dan kepalaku sendiri.

Akupun mulai bertanya, pertanyaan yang sebenarnya kurang pantas untuk ditanyakan, pertanyaan tentang janji Allah untuk menggenapkan perempuan yang baik dengan laki-laki yang baik. Pertanyaan yang kutujukan pada diri sendiri, yang kudapatkan jawabannya melalui seorang perantara yaitu kamu: Apa iya, kamu adalah yang terbaik untuk menggenapiku?

“Kamu tahu, dulu aku bersusah payah untuk memperbaiki diri, mempersiapkan diri agar layak untuk mendampingi pasangan yang akan menggenapiku?” Suaraku tercekat sampai situ, tak ada keberanian untuk melanjutkan pada kalimat selanjutnya, kalimat yang sebenernya adalah inti dari apa yang ingin kubicarakan padamu, tentang kekuranganmu, tentang betapa aku kecewa atas beberapa sikapmu.

“Makasih ya, sudah berusaha dengan begitu keras, aku merasa beruntung sekali bisa menggenapimu.” Katamu waktu itu, setelah tersenyum, setelah sekian detik aku diam karena bingung harus berkata apalagi, tak berani mengutarakan apa yang sebenarnya ingin aku sampaikan. Lalu kamu tersenyum lagi, sebelum melanjutkan kata-katamu. Senyum, yang semakin membingungkan perasaanku.

“Aku dulu juga sama, berusaha untuk memperbaiki dan mempersiapkan diri. Cuma mungkin masih belum sekeras kamu. Tapi bukan karena ingin mendapatkan pasangan yang baik. Aku melakukannya ya karena untuk diri sendiri, karena Allah memang menyuruh kita untuk senantiasa memperbaiki diri, bukan? Walaupun perbaikan itu begitu kecil di mata orang lain. Karena dengan memperbaiki diri itulah, kita akan mendapatkan banyak kebaikan yang lainnya, salah satunya diberikan pendamping hidup yang juga baik. Kayak kamu...”

“Sekarang, aku juga masih sibuk memperbaiki diri, lebih keras dari sebelum ada kamu, karena tanggungjawabku jadi bertambah. Aku juga harus bertanggungjawab atas kamu, aku akan berusaha untuk menjadi pasangan sebaik mungkin buat kamu. Tapi, aku butuh kesabaran kamu...”

****

Well, tak ada yang salah dari janji Allah yang kuyakini: bahwa perempuan yang baik, hanyalah untuk laki-laki yang baik pula. Yang salah adalah caraku memahaminya. Harusnya, seperti kamu, yang kadang ngeselin banget tapi juga mencengangkan. Selayaknya, seseorang memperbaiki dirinya sendiri memang karena dirinya sendiri, selain Allah juga memang menyuruh kita untuk memperbaiki diri. Bukan karena orang lain, bukan juga karena mengharapkan pasangan yang baik. Karena pasangan yang baik itu, akan otomatis mengikuti, kalau kita sudah berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki diri.

Masalahnya, sesuatu yang dilakukan karena orang lain, atau dilakukan karena mengharapkan sesuatu yang lainnya (karena mengharapkan pasangan yang baik misalkan), hanya akan banyak mengundang rasa kecewa. Sebaliknya, sesuatu yang dilakukan karena Allah, karena pemahaman yang baik dalam dirinya sendiri, akan selalu menentramkan hati. Sesulit apapun proses yang harus dijalani.

Dan yang harus dipahami, karena baik itu adalah proses sepanjang hayat, tidak semua perempuan atau laki-laki yang baik itu, beruntung dipertemukan dengan pasangannya masing-masing dalam kondisi yang sama baiknya. Ada beberapa yang tak kalah beruntung, yang dipersatukan dalam kondisi yang salah satunya belum begitu baik, tapi punya potensi dan keinginan untuk selalu memperbaiki diri. Tinggal masalah waktu dan kesabaran saja, yang belum baik itu akan menyamai bahkan melebihi yang sudah baik. Kayak kamu, yang sekarang sudah jauh berlari meninggalkan aku. Huh, curang.

 Dikutip dari : ___ Genap karya Nazrul Anwar

ps. Semoga setiap kaum hawa disadarkan dari tingginya ego ;)

Tuesday, January 6, 2015

Ihsan

"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
[QS. An-Nisa ayat 1]

Ayat diatas menekankan pentingnya silaturrahim. Salah satu bentuk silaturrahim adalah dengan ihsan. Apa yang dimaksud dengan ihsan? Ihsan ialah beribadah kepada Allah swt seakan-akan melihat-Nya. Ihsan juga disebut sebagai berbuat baik. Lalu bagaimana cara kita mengenal Allah swt? Dengan mempelajari ilmu tauhid, kita akan mengenal Tuhan kita.

Perintah untuk berbuat baik kepada manusia terdapat dalam QS. An-Nisa ayat 36,
"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri."

Islam sangat menghargai kesalehan seseorang. Kebaikan yang dilakukan juga memiliki tingkataN, yakni: orang tua, kerabat dekat, anak yatim, orang miskin, tetangga, teman, hamba sahaya. 

Kepada binatang dan makhluk hidup lain, kita juga harus berbuat ihsan. Ada suatu penelitian di Amerika Serikat bahwa hewan yang disembelih dengan cara Islam (dibaringkan ke sebelah kiri, ditenangkan, serta dibacakan bismillah saat akan menyembelihnya) lebih merasa tidak sakit dibanding hewan yang dibunuh dengan cara disuntik/dipingsankan.

Hukuman mati sebaiknya dilakukan terbatas kecuali hukum cambuk boleh dilakukan di hadapan orang-orang mukmin untuk membuat jera.

Orang yang berdosa besar tetapi dengan tulus ikhlas memberi makan/minum orang lain atau makhluk hidup lainnya akan diampuni dosanya oleh Allah swt.

Seperti dikutip dari ceramah Ustadz Dr. Jeje Zainuddin

Sunday, January 4, 2015

Perempuan

Perempuan datang atas nama cinta
Bunda pergi karena cinta
Digenangi air racun jingga adalah wajahmu
Seperti bulan lelap tidur dihatimu
Yang berdinding kelam dan kedinginan

Ada apa dengannya
Meninggalkan hati untuk dicaci
Baru sekali ini aku melihat karya surga dalam mata seorang hawa

Ada apa dengan cinta
Tapi aku pasti akan kembali
Dalam satu purnama
Untuk mempertanyakan kembali cintanya

Bukan untuknya
Bukan untuk siapa
Tapi untukku
Karena aku ingin kamu
Itu saja



Oleh: Rako Prijanto