Friday, December 31, 2010

Harapan

kita bermimpi tentang esok, dan esok tak pernah ada
kita bermimpi tentang kebanggaan yang tak benar-benar kita inginkan
kita bermimpi tentang hari baru ketika hari baru sudah tiba
kita lari dari peperangan ketika peperangan itu harus kita perjuangkan

kita mendengarkan panggilan namun tak pernah benar-benar memperhatikan
berharap akan masa depan ketika masa depan hanya direncanakan
bermimpi tentang kebijakan yang kita hindari setiap hari
berdoa bagi datangnya juru selamat ketika keselamatan ada di tangan kita

dan masih saja kita terlelap

dan masih saja kita terlelap
dan masih saja kita berdoa
dan masih saja kita takut

dan masih saja kita terlelap

Dikutip dari buku Dead Poet Society

Sunday, December 26, 2010

Mencintai Penanda Dosa

Artikel yang sangat menarik dari notes teman saya. Ia mencupliknya dari sini: http://salim-a-fillah.blog.friendster.com/2010/11/mencintai-penanda-dosa/

Mencintai Penanda Dosa

oleh Salim A. Fillah

Dalam hidup, Allah sering menjumpakan kita dengan orang-orang yang membuat hati bergumam lirih, “Ah, surga masih jauh.” Pada banyak kejadian, ia diwakili oleh orang-orang penuh cahaya yang kilau keshalihannya kadang membuat kita harus memejam mata.

Dalam tugas sebagai Relawan Masjid di seputar Merapi hari-hari ini, saya juga bersua dengan mereka-mereka itu. Ada suami-isteri niagawan kecil yang oleh tetangganya sering disebut si mabrur sebelum haji. Selidik saya menjawabkan, mereka yang menabung bertahun-tahun demi menjenguk rumah Allah itu, menarik uang simpanannya demi mencukupi kebutuhan pengungsi yang kelaparan dan kedinginan di pelupuk mata.

“Kalau sudah rizqi kami”, ujar si suami dengan mata berkaca nan manusiawi, “Kami yakin insyaallah akan kesampaian juga jadi tamu Allah. Satu saat nanti. Satu saat nanti.” Saya memeluknya dengan hati gerimis. Surga terasa masih jauh di hadapan mereka yang mabrur sebelum berhaji.

Ada lagi pengantin surga. Keluarga yang hendak menikahkan dan menyelenggarakan walimah putra-putrinya itu bersepakat mengalihkan beras dan segala anggaran ke barak pengungsi. Nikah pemuda-pemudi itu tetap berlangsung. Khidmat sekali. Dan perayaannya penuh doa yang mungkin saja mengguncang ‘Arsyi. Sebab semua pengungsi yang makan hidangan di barak nan mereka dirikan berlinangan penuh haru memohonkan keberkahan.

Catatan indah ini tentu masih panjang. Ada rumah bersahaja berkamar tiga yang menampung seratusan pelarian musibah. Untuk pemiliknya saya mendoa, semoga istana surganya megah gempita. Ada juru masak penginapan berbintang yang cutikan diri, membaktikan keahlian di dapur umum. Ada penjual nasi gudheg yang sedekahkan 2 pekan dagangannya bagi ransum para terdampak bencana. Semoga tiap butir nasi, serpih sayur, dan serat lelaukan bertasbih untuk mereka.

Ada juga tukang pijit dan tukang cukur yang keliling cuma-cuma menyegarkan raga-raga letih, barak demi barak. Ada dokter-dokter yang rela tinggalkan kenyamanan ruang berpendingin untuk berdebu-debu dan berjijik-jijik. Ada lagi para mahasiswa dan muda-mudi yang kembali mengkanakkan diri, membersamai dan menceriakan bocah-bocah pengungsi. Semua kebermanfaatan surgawi itu, sungguh membuat iri.

***

“Ah, surga masih jauh.”

Setelah bertaburnya kisah kebajikan, izinkan kali ini saya justru mengajak untuk menggumamkan keluh syahdu itu dengan belajar dari jiwa pendosa. Jiwa yang pernah gagal dalam ujian kehidupan dariNya. Mengapa tidak? Bukankah Al Quran juga mengisahkan orang-orang gagal dan pendosa yang berhasil melesatkan dirinya jadi pribadi paling mulia?

Musa pernah membunuh orang. Yunus bahkan sempat lari dari tugas risalah yang seharusnya dia emban. Adam juga. Dia gagal dalam ujian untuk tak mendekat pada pohon yang diharamkan baginya. Tapi doa sesalnya diabadikan Al-Quran. Kita membacanya penuh takjub dan khusyu’. “Rabb Pencipta kami, telah kami aniaya diri sendiri. Andai Kau tak sudi mengampuni dan menyayangi, niscaya jadilah kami termasuk mereka yang rugi-rugi.” Mereka pernah menjadi jiwa pendosa, tetapi sikap terbaik memuliakan kelanjutan sejarahnya.

Kini izinkan saya bercerita tentang seorang wanita yang selalu mengatakan bahwa dirinya jiwa pendosa. Kita mafhum, bahwa tiap pendosa yang bertaubat, berhijrah, dan berupaya memperbaiki diri umumnya tersuasanakan untuk membenci apa-apa yang terkait dengan masa lalunya. Hatinya tertuntun untuk tak suka pada tiap hal yang berhubungan dengan dosanya. Tapi bagaimana jika ujian berikut setelah taubat adalah untuk mencintai penanda dosanya?

Dan wanita dengan jubah panjang dan jilbab lebar warna ungu itu memang berjuang untuk mencintai penanda dosanya.

“Saya hanya ingin berbagi dan mohon doa agar dikuatkan”, ujarnya saat kami bertemu di suatu kota selepas sebuah acara yang menghadirkan saya sebagai penyampai madah. Didampingi ibunda dan adik lelakinya, dia mengisahkan lika-liku hidup yang mengharu-birukan hati. Meski sesekali menyeka wajah dan mata dengan sapu tangan, saya insyaf, dia jauh lebih tangguh dari saya.

“Ah, surga masih jauh.”

Kisahnya dimulai dengan cerita indah di semester akhir kuliah. Dia muslimah nan taat, aktivis dakwah yang tangguh, akhwat yang jadi teladan di kampus, dan penuh dengan prestasi yang menyemangati rekan-rekan. Kesyukurannya makin lengkap tatkala prosesnya untuk menikah lancar dan mudah. Dia tinggal menghitung hari. Detik demi detik serasa menyusupkan bahagia di nafasnya.

Ikhwan itu, sang calon suami, seorang lelaki yang mungkin jadi dambaan semua sebayanya. Dia berasal dari keluarga tokoh terpandang dan kaya raya, tapi jelas tak manja. Dikenal juga sebagai ‘pembesar’ di kalangan para aktivis, usaha yang dirintisnya sendiri sejak kuliah telah mengentas banyak kawan dan sungguh membanggakan. Awal-awal, si muslimah nan berasal dari keluarga biasa, seadanya, dan bersahaja itu tak percaya diri. Tapi niat baik dari masing-masing pihak mengatasi semuanya.

Tinggal sepekan lagi. Hari akad dan walimah itu tinggal tujuh hari menjelang, ketika sang ikhwan dengan mobil barunya datang ke rumah yang dikontraknya bersama akhwat-akhwat lain. Sang muslimah agak terkejut ketika si calon suami tampak sendiri. Ya, hari itu mereka berencana meninjau rumah calon tempat tinggal yang akan mereka surgakan bersama. Angkahnya, ibunda si lelaki dan adik perempuannya akan beserta agar batas syari’at tetap terjaga.

“’Afwan Ukhti, ibu dan adik tidak jadi ikut karena mendadak uwak masuk ICU tersebab serangan jantung”, ujar ikhwan berpenampilan eksekutif muda itu dengan wajah sesal dan merasa bersalah. “’Afwan juga, adakah beberapa akhwat teman Anti yang bisa mendampingi agar rencana hari ini tetap berjalan?”

“Sayangnya tidak ada. ‘Afwan, semua sedang ada acara dan keperluan lain. Bisakah ditunda?”

“Masalahnya besok saya harus berangkat keluar kota untuk beberapa hari. Sepertinya tak ada waktu lagi. Bagaimana?”

Akhirnya dengan memaksa dan membujuk, salah seorang kawan kontrakan sang Ukhti berkenan menemani mereka.

Tetapi bi-idzniLlah, di tengah jalan sang teman ditelepon rekan lain untuk suatu keperluan yang katanya gawat dan darurat. “Saya menyesal membiarkannya turun di tengah perjalanan”, kata muslimah itu pada saya dengan sedikit isak. “Meskipun kami jaga sebaik-baiknya dengan duduk beda baris, dia di depan dan saya di belakang, saya insyaf, itu awal semua petakanya. Kami terlalu memudah-mudahkan. AstaghfiruLlah.”

Ringkas cerita, mereka akhirnya harus berdua saja meninjau rumah baru tempat kelak surga cinta itu akan dibangun. Rumah itu tak besar. Tapi asri dan nyaman. Tidak megah. Tapi anggun dan teduh.

Saat sang muslimah pamit ke kamar mandi untuk hajatnya, dengan bantuan seekor kecoa yang membuatnya berteriak ketakutan, syaithan bekerja dengan kelihaian menakjubkan. “Di rumah yang seharusnya kami bangun surga dalam ridhaNya, kami jatuh terjerembab ke neraka. Kami melakukan dosa besar terlaknat itu”, dia tersedu. Saya tak tega memandang dia dan sang ibunda yang menggugu. Saya alihkan mata saya pada adik lelakinya di sebalik pintu. Dia tampak menimang seorang anak perempuan kecil.

“Kisahnya tak berhenti sampai di situ”, lanjutnya setelah agak tenang. “Pulang dari sana kami berada dalam gejolak rasa yang sungguh menyiksa. Kami marah. Marah pada diri kami. Marah pada adik dan ibu. Marah pada kawan yang memaksa turun di jalan. Marah pada kecoa itu. Kami kalut. Kami sedih. Merasa kotor. Merasa jijik. Saya terus menangis di jok belakang. Dia menyetir dengan galau. Sesal itu menyakitkan sekali. Kami kacau. Kami merasa hancur.” Dan kecelakaan itupun terjadi. Mobil mereka menghantam truk pengangkut kayu di tikungan. Tepat sepekan sebelum pernikahan.

“Setelah hampir empat bulan koma”, sambungnya, “Akhirnya saya sadar. Pemulihan yang sungguh memakan waktu itu diperberat oleh kabar yang awalnya saya bingung harus mengucap apa. Saya hamil. Saya mengandung. Perzinaan terdosa itu membuahkan karunia.” Saya takjub pada pilihan katanya. Dia menyebutnya “karunia”. Sungguh tak mudah untuk mengucap itu bagi orang yang terluka oleh dosa.

“Yang lebih membuat saya merasa langit runtuh dan bumi menghimpit adalah”, katanya terisak lagi, “Ternyata calon suami saya, ayah dari anak saya, meninggal di tempat dalam kecelakaan itu.”

“SubhanaLlah”, saya memekik pelan dengan hati menjerit. Saya pandangi gadis kecil yang kini digendong oleh sang paman itu. Engkaulah rupanya Nak, penanda dosa yang harus dicintai itu. Engkaulah rupanya Nak, karunia yang menyertai kekhilafan orangtuamu. Engkaulah rupanya Nak, ujian yang datang setelah ujian. Seperti perut ikan yang menelan Yunus setelah dia tak sabar menyeru kaumnya.

“Doakan saya kuat Ustadz”, ujarnya. Tiba-tiba, panggilan “Ustadz” itu terasa menyengat saya. Sergapan rasa tak pantas serasa melumuri seluruh tubuh. Bagaimana saya akan berkata-kata di hadapan seorang yang begitu tegar menanggung semua derita, bahkan ketika keluarga almarhum calon suaminya mencampakkannya begitu rupa. Saya masih bingung alangkah teganya mereka, keluarga yang konon kaya dan terhormat itu, mengatakan, “Bagaimana kami bisa percaya bahwa itu cucu kami dan bukan hasil ketaksenonohanmu dengan pria lain yang membuat putra kami tersayang meninggal karena frustrasi?”

“Doakan saya Ustadz”, kembali dia menyentak. “Semoga keteguhan dan kesabaran saya atas ujian ini tak berubah menjadi kekerasan hati dan tak tahu malu. Dan semoga sesal dan taubat ini tak menghalangi saya dari mencintai anak itu sepenuh hati.” Aduhai, surga masih jauh. Bahkan pinta doanya pun menakjubkan.

Allah, sayangilah jiwa-jiwa pendosa yang memperbaiki diri dengan sepenuh hati. Allah, jadikan wanita ini semulia Maryam. Cuci dia dari dosa-dosa masa lalu dengan kesabarannya meniti hari-hari bersama sang buah hati. Allah, balasi tiap kegigihannya mencintai penanda dosa dengan kemuliaan di sisiMu dan di sisi orang-orang beriman. Allah, sebab ayahnya telah Kau panggil, kami titipkan anak manis dan shalihah ini ke dalam pengasuhanMu nan Maha Rahman dan Rahim.

Allah, jangan pula izinkan hati kami sesedikit apapun menghina jiwa-jiwa pendosa. Sebab ada kata-kata Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Kitab Az Zuhd yang selalu menginsyafkan kami. “Sejak dulu kami menyepakati”, tulis beliau, “Bahwa jika seseorang menghina saudara mukminnya atas suatu dosa, dia takkan mati sampai Allah mengujinya dengan dosa yang semisal dengannya.”

NB: sahibatul hikayah berpesan agar kisah ini diceritakan untuk berbagi tentang betapa pentingnya menjaga iman, rasa taqwa, dan tiap detail syari’atNya di tiap langkah kehidupan. Juga agar ada pembelajaran untuk kita bisa memilih sikap terbaik menghadapi tiap uji kehidupan. Semoga Allah menyayanginya.

ps. Yaa muqallibal quluub, tsabbit qalbi 'ala diinik...

Friday, December 24, 2010

Pangeran Kecil

Saat itulah muncul si rubah.
"Selamat siang," sapa si rubah.
"Selamat siang," jawab pangeran kecil sopan, mendongak tapi tidak melihat apa-apa.
"Aku di sini," kata suara itu, "di bawah pohon apel."
"Siapa kau?" tanya pangeran kecil. "Kau cantik sekali."
"Aku rubah," jawab si rubah.
"Kemarilah dan bermain denganku," pangeran kecil mengusulkan. "Aku sedang sedih sekali.."
"Aku tak bisa bermain denganmu," kata si rubah. "Belum ada yang menjinakkan aku."
"Oh! Maaf," ujar pangeran kecil.
Kemudian, setelah berpikir sejenak, dia menambahkan:
"Apa artinya 'menjinakkan'?"
"Kau tidak berasal dari daerah sini," kata si rubah.
"Apa yang kaucari?"
"Aku mencari manusia. Apa artinya 'menjinakkan'?"
"Manusia," kata si rubah, "Mereka punya senapan dan mereka berburu. Sangat mengganggu! Mereka juga memelihara ayam. Hanya itu yang menarik dari mereka. Apa kau mencari ayam?"
"Tidak," kata pangeran kecil. "Aku mencari teman. Apa artinya 'menjinakkan'?"
"Sesuatu yang sering kali diabaikan," kata si rubah.
"Artinya 'menciptakan ikatan'."
"Menciptakan ikatan?"
"Tepat," kata si rubah."Bagiku, kau sekarang hanyalah seorang anak laki-laki kecil, sama seperti seratus ribu anak-anak lainnya. Dan aku tak membutuhkanmu. Dan kau juga tak membutuhkan aku. Aku hanyalah seekor rubah seperti seratus ribu rubah lainnya. Tetapi jika kau menjinakkanku, kita akan saling membutuhkan. Bagiku, kau akan unik di dunia ini. Bagimu, aku akan unik di dunia ini."
"Aku mulai mengerti," kata pangeran kecil. "Aku kenal setangkai bunga... kurasa dia telah menjinakkanku..."
"Mungkin sekali," kata si rubah. "Di bumi ini kita menyaksikan segala macam hal."
"Oh! Tetapi itu tidak terjadi di bumi," kata pangeran kecil.
Si rubah tampak sangat berminat.
"Di planet lain, kalau begitu?"
"Ya."
"Apa ada pemburu di planet lain ini?"
"Tidak."
"Menarik sekali. Dan ayam?"
"Tak ada juga."
"Memang tak ada yang sempurna di dunia ini," kata si rubah menghela napas.
Tetapi si rubah kembali pada pemikirannya.
"Hidupku sangat datar. Aku memburu ayam-ayam, manusia memburuku. Semua ayam itu sama, semua manusia itu sama. Akibatnya aku agak bosan. Tetapi jika kau menjinakkan aku, hari-hariku akan jadi seperti dipenuhi sinar matahari. Aku akan mengenali bunyi langkah kaki yang berbeda daripada bunyi langkah kaki lainnya. Langkah-langkah kaki lain akan membuatku melarikan diri ke dalam lubangku di tanah. Langkah kakimu akan memanggilku ke luar, seperti musik. Lagi pula, lihat di sana itu. Kaulihat ladang jagung itu? Nah, aku tak makan roti. Jagung tak ada gunanya bagiku. Ladang jagung tak mengingatkanku pada apapun. Itu menyedihkan. Sebaliknya, rambutmu berwarna emas. Jadi bayangkan, betapa menyenangkannya jika kau telah menjinakkanku. Jagung yang keemasan akan mengingatkanku padamu. Dan aku akan menyukai desau angin di ladang jagung..."
Si rubah terdiam dan menatap pangeran kecil lama sekali.
"Ayolah," katanya, "Jinakkan aku!"
"Aku ingin menjinakkanmu," jawab pangeran kecil, "Tetapi aku tak punya banyak waktu. Aku harus mencari teman dan belajar memahami banyak hal."
"Kita hanya bisa memahami apa yang telah kita jinakkan. Manusia tak lagi punya waktu untuk memahami segala hal. Mereka membeli segala barang yang sudah jadi di toko. Tetapi tak ada toko yang menjual teman, maka manusia tak lagi punya teman. Jika kau menginginkan teman, jinakkanlah aku!"
"Apa yang harus kulakukan?" kata pangeran kecil.
"Kau harus sabar sekali," jawab si rubah. Mula-mula kau duduk dalam jarak yang tak begitu jauh dariku, seperti itu, di rumput. Aku akan memandangmu dari sudut mataku dan kau tak akan mengatakan apa-apa; kata-kata adalah sumber kesalahpahaman. Tetapi setiap hari kau boleh duduk lebih dekat kepadaku."
Hari berikutnya pangeran kecil datang lagi.
"Sebaiknya setiap hari kau datang pada waktu yang sama," kata si rubah. "Misalnya saja, jika kau datang pada pukul empat sore, sejak pukul tiga aku sudah mulai senang. Makin dekat waktu pertemuan kita, makin senang aku. Pukul empat aku akan mulai resah dan cemas; aku akan menyadari nilai kebahagiaan! Tetapi jika kau muncul sembarang waktu, aku tak akan pernah tahu kapan harus mulai menyiapkan hatiku untukmu... Kita semua memerlukan ritual."
"Apa artinya ritual?" tanya pangeran kecil.
"Itu juga sesuatu yang sering diabaikan," kata si rubah.
"Rituallah yang membuat satu hari berbeda dari hari-hari lainnya, satu jam berbeda dari jam-jam lainnya. Ada ritual, misalnya, di antara para pemburuku. Pada hari Kamis mereka berdansa dengan gadis-gadis desa. Maka hari Kamis adalah hari yang luar biasa menyenangkan bagiku! Aku bisa berjalan-jalan sampai ke kebun anggur. Jika para pemburu itu berdansa pada hari apa saja, semua hari akan sama, dan aku tak akan pernah punya hari libur."
Maka pangeran kecil menjinakkan si rubah. Dan ketika saat kepergiannya sudah semakin mendekat:
"Ah!" kata si rubah, "Aku mau menangis."
"Salahmu sendiri," kata pangeran kecil. "Aku tak pernah bermaksud menyusahkanmu, tetapi kau ingin aku menjinakkanmu..."
"Ya, memang," kata si rubah.
"Tetapi sekarang kau mau menangis!" kata pangeran kecil.
"Ya, memang," kata si rubah.
"Jadi, kau tak mendapatkan keuntungan apapun dari hubungan kita ini!"
"Oh, aku mendapatkan keuntungan," kata si rubah, "sehubungan dengan warna jagung."
Kemudian dia menambahkan,
"Pergilah lihat mawar-mawar itu lagi. Kau akan mengerti bahwa, bagaimanapun juga, mawarmu unik di dunia ini. Kemudian kembalilah dan ucapkan selamat tinggal kepadaku. Sebagai hadiah, aku akan memberitahumu suatu rahasia."
Pangeran kecil pergi melihat mawar-mawar itu lagi.
"Kalian sama sekali tidak seperti mawarku," katanya kepada mereka.
"Kalian tak berarti apa-apa. Tak seorang pun menjinakkan kalian, dan kalian juga tidak menjinakkan siapapun. Kalian seperti rubahku sebelum ini. Waktu itu dia hanya sekadar rubah, seperti seratus ribu rubah lainnya.Tetapi aku membuatnya menjadi temanku, dan sekarang dia unik di dunia ini."
Dan mawar-mawar itu merasa sangat tak nyaman.
"Kalian cantik sekali, tetapi kalian hampa," dia melanjutkan.
"Tak ada orang yang bersedia mati untuk kalian. Tentu saja, orang yang sekadar lewat akan mengira mawarku sama persis seperti kalian. Tetapi mawarku, walaupun cuma setangkai, jauh lebih berarti daripada kalian semua, karena dialah yang kusirami. Karena dialah yang kututup dengan kubah kaca. Karena dialah yang kulindungi dengan tabir. Karena dialah yang ulat-ulatnya kubunuh (kecuali dua atau tiga yang kami biarkan hidup agar menjadi kupu-kupu). Karena dialah yang kudengarkan, waktu dia mengeluh, atau menyombongkan diri, atau ketika dia cuma membisu. Karena dia mawarku."
Dan pangeran kecil kembali kepada si rubah.
"Selamat tinggal," katanya.
"Selamat tinggal," kata si rubah. "Inilah rahasiaku, sangat sederhana: kau hanya bisa melihat jelas dengan hatimu. Hal yang penting tak terlihat oleh mata."
"Hal yang penting tak terlihat oleh mata," ulang pangeran kecil, agar ingat.
"Waktu yang kauhabiskan untuk mawarmulah yang membuat mawarmu begitu penting."
"Waktu yang telah kuhabiskan untuk mawarku..." ulang pangeran kecil, agar ingat.
"Manusia sudah melupakan kebenaran ini," kata si rubah. "Tetapi kau tak boleh lupa. Kau harus bertanggung jawab, selamanya, atas apa yang telah kau jinakkan. Kau bertanggung jawab atas mawarmu."
"Aku bertanggung jawab atas mawarku..." ulang pangeran kecil, agar ingat.

-This story taken from Le Petit Prince, my fave book ever in Goodreads, by Antoine de Saint-Exupery-

Tuesday, November 16, 2010

Dua Hentakan Iman

Ajarkan pada kami Bunda Hajar
Bagaimana perasaan iman menghajar
Rasa khawatir dan cemburu yang membakar

Wahai para sahabat yang menggali parit
Bisakah kalian rumuskan dalam sebait
Bagaimana nalar iman meloncat tinggi
Melampaui nalar munafik yang berbukti-bukti

Tiga manusia itu sedang melintas di sebuah lembah. Kosong, gersang, terik, liar, tak berpenghuni. Tak tampak hewan, tak terlihat tanaman. Mereka adalah seorang lelaki yang mulai menua, dan seorang wanita yang menggendong bayi yang merah. Rasa lelah membuat mereka berhenti. Dan sang bayi yang kehausan mulai menetek pada ibunya.

Tetapi laki-laki lain itu, suaminya yang shalih, tiba-tiba saja berjalan ke arah utara. Sekilas sang istri melihat ada kaca-kaca di pelupuk matanya. Dan ia terus berjalan. Hingga sang istri kemudian sadar, bahwa ia dan bayinya telah ditinggalkan. Maka ia pun mengejar, mencoba menyusul. Ia berlari kecil dengan bayi merahnya terguncang-guncang dalam gendongan.

“Mengapa kau tinggalkan kami hai Ibrahim?” serunya penuh tanya.
Lelaki itu, Ibrahim, tak menjawab. Ia hanya berhenti sejenak, menghela napas dalam-dalam dan menahan isak.

“Mengapa kau tinggalkan kami Hai Ibrahim?”

Yang ditanya tetap diam. Ia tak mampu menjawab. Lalu ia melangkah lagi, sedikit menyerong, menghindar dari istrinya yang menghadang.

“Mengapa kau tinggalkan kami hai Ibrahim?”

Ibrahim masih diam. Dalam hatinya berkecamuk sejuta senyawa rasa. Dia yang menanti-nanti kelahiran buah hati berpuluh tahun lamanya. Dia yang melalui malam-malamnya dengan doa-doa, memohon ada tangis kecil yang memecah kesunyian rumahnya. Kini Allah telah memberikan anugrah itu, Ismail. Dan kini, Allah tiba-tiba memintanya meninggalkan Ismail dan ibunya di tanah tak berpenghidupan ini. Ia akan merasa sepi lagi. Ia akan dilanda khawatir tak bertepi. Tetapi apa daya seorang hamba? Dan mengapa harus bersangka pada Allah dengan yang tak semestinya? Ya, ia ridha dengan perintah-Nya. Hanya saja ia tak sanggup menjawab Hajar. Lapis bening di matanya telah berubah menjadi genangan. Hatinya gerimis.

“Apakah ini perintah Allah?” tiba-tiba Hajar mengubah pertanyaan.

Ibrahim terhenyak. Ia berhenti sesaat, lalu berbalik. Tatapannya ditumbukkan ke bola mata Hajar yang bening dan polos. Kedua tangannya mencekau lengan-lengan Hajar. “Ya,” katanya. Helaan napasnya panjang dan berat. “Ini perintah Allah.”

Sesaat hening. Mereka berpelukan. “Kalau ini perintah Allah,” kata Hajar berbisik di telinga suaminya, “Dia sekali-kali takkan pernah menyia-nyiakan kami.”

Maka begitulah. Jalan cinta para pejuang selalu meminta kita memahkotai cinta dengan iman bercahaya. Ibrahim, kekasih Allah itu membuktikan cintanya. Demikian pula Hajar istrinya. Kalimatnya menjadi proklamasi iman sepanjang masa. “Kalau ini perintah Allah, sekali-kali Dia takkan pernah menyia-nyiakan kami.” Inilah perasaan hati yang bergejolak menjadi keteguhan. Perasaan yang menggantungkan diri pada Dzat Maha Tinggi, hingga melesat meloncati emosi-emosi. Inilah iman.

Tentu kita bisa membayangkan, sangat manusiawi jika Hajar tak terima ditinggalkan begitu saja di gurun terik tanpa tumbuhan, tanpa makan, tanpa kawan. Atau jika cemburu menguasainya lalu ia berkata, “Oh jadi kau tinggalkan kami di sini karena Sarah yang mandul cemburu padaku?! Jadi kini kami disia-siakan sementara kau akan bersenang-senang dengan istrimu yang lain?”

Subhanallah… Tentu saja ibunda Hajar jauh dari akhlak semacam ini. Tapi mari kita beranda-andai untuk menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Hajar bukanlah perkara yang mudah. Sama sekali tidak mudah. Dan jika keberatannya yang manusiawi itu ia turunkan, tentu kita tak mengenal zamzam, tentu tak ada sa’i antara bukit Shafa dan Marwa, tentu tak ada lempar jumrah, dan tak ada ibadah qurban. Dan kita pun mungkin urung menambah lafazh shalawat kita pada sang Nabi dengan “…Kamaa shallaita ‘alaa Ibraahiiim, wa ‘alaa aali Ibraahiiim…”

Inilah imannya perasaan. Iman yang bergerak menjangkahi segala emosi hati. Dimana nalar iman bekerja merantaskan segala logika jahili.

“Ya Rabb kami, sungguh telah kutempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tak bertanaman di dekat rumah-Mu yang dihormati. Ya Rabb kami, agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka,dan karuniakan pada mereka rizki dan buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur.”
[QS. Ibrahim: 37]

disadur dari Jalan Cinta Para Pejuang karya Salim A. Fillah

ps. Happy Idul Adha 1431 H! Semoga kita dapat menjadi bagian dari hamba-Nya yang ikhlas, seperti ikhlasnya keluarga Ibrahim :)

Saturday, November 6, 2010

Joko Widodo: Walikota Surakarta

Di bawah ini adalah sekelumit profil Joko Widodo, Walikota Surakarta. Nama Pak Joko sangat akrab di telinga pegawai Kementerian Perumahan Rakyat terutama di bidangku dulu, SPK. Cara beliau dalam merelokasi warga menjadi role model bahwa partisipasi masyarakat merupakan kontribusi utama dalam suksesnya pembangunan. Semoga selalu lahir pemimpin-pemimpin Indonesia yang senantiasa belajar mendengar dari rakyatnya.

==========================================

SEMUANYA berawal pada 2005. Joko Widodo, yang baru dilantik menjadi Wali Kota Surakarta, membentuk tim kecil untuk mensurvei keinginan warga kota di tepian Sungai Bengawan itu. Hasilnya: kebanyakan orang Solo ingin pedagang kaki lima yang memenuhi jalan dan taman di pusat kota disingkirkan.

Joko bingung. Ia tak ingin menempuh cara gampang: panggil polisi dan tentara, lalu usir pedagang itu pergi. "Dagangan itu hidup mereka. Bukan cuma perut sendiri, tapi juga keluarga, anak-anak," katanya.

Tak bisa tidak: pedagang itu harus direlokasi. Tapi bagaimana caranya? Tiga wali kota sebelumnya angkat tangan. Para pedagang kaki lima mengancam akan membakar kantor wali kota kalau digusur. Di Solo, ancaman bakar bukan omong kosong. Sejak dibangun, kantor wali kota sudah dua kali-1998 dan 1999-dihanguskan massa.

Lalu muncul ide: untuk meluluhkan hati para pedagang, mereka harus diajak makan bersama. Dalam bisnis, jamuan makan yang sukses biasanya berakhir dengan kontrak yang bagus. Sebagai eksportir mebel 18 tahun, Joko tahu betul ampuhnya "lobi meja makan".

Rencana disusun. Target pertama adalah kaki lima di daerah Banjarsari-kawasan paling elite di Solo. Di sana ada 989 pedagang yang bergabung dalam 11 paguyuban.

Aksi dimulai. Para koordinator paguyuban diajak makan siang di Loji Gandrung, rumah dinas wali kota. Tahu hendak dipindahkan, mereka datang membawa pengutus lembaga swadaya masyarakat. Joko menahan diri. Seusai makan, dia mempersilakan mereka pulang. Para pedagang kaki lima kecele. "Enggak ada dialog, Pak?" tanya mereka. "Enggak. Cuma makan siang, kok," jawab Joko.

Tiga hari kemudian, mereka kembali diundang. Lagi-lagi cuma SMP-sudah makan pulang. Ini berlangsung terus selama tujuh bulan. Baru pada jamuan ke-54-saat itu semua pedagang kaki lima yang hendak dipindahkan hadir-Joko mengutarakan niatnya. "Bapak-bapak hendak saya pindahkan," katanya. Tak ada yang membantah.

Para pedagang minta jaminan, di tempat yang baru, mereka tidak kehilangan pembeli. Joko tak berani. Dia cuma berjanji akan mengiklankan Pasar Klitikan-yang khusus dibangun untuk relokasi-selama empat bulan di televisi dan media cetak lokal. Janji itu dia tepati. Pemerintah kota juga memperlebar jalan ke sana dan membuat satu trayek angkutan kota.

Terakhir, mereka minta kios diberikan gratis. "Ini berat. Saya sempat tarik-ulur dengan Dewan," kata Joko. Untungnya, Dewan bisa diyakinkan dan setuju. Jadilah para pedagang tak mengeluarkan uang untuk kios barunya. Sebagai gantinya, para pedagang harus membayar retribusi Rp 2.600 per hari. Joko yakin dalam delapan setengah tahun modal pemerintah Rp 9,8 miliar bisa kembali.

Boyongan pedagang dari Banjarsari ke Pasar Klitikan pada pertengahan tahun lalu berlangsung meriah. Bukannya dikejar-kejar seperti di kota lain, mereka pindah dengan senyum rasa bangga. Semua pedagang mengenakan pakaian adat Solo dan menyunggi tumpeng-simbol kemakmuran. Mereka juga dikawal prajurit keraton berpakaian lengkap.

"Orang bilang mereka nurut saya karena sudah diajak makan. Itu salah. Yang benar itu karena mereka diwongke, dimanusiakan," kata Joko. Diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, menurut Joko, membela wong cilik sebenarnya bukan perkara sulit. "Gampang. Pokoknya, pimpin dengan hati. Hadapi mereka sebagai sesama, bukan sampah," katanya.

Kini warga Solo kembali menikmati jalan yang bersih, indah, dan teratur. Monumen Juang 1945 di Banjarsari kembali menjadi ruang terbuka hijau yang nyaman.

Berhasil dengan Banjarsari, Joko merambah kaki lima di wilayah lain. Untuk yang berada di jalan depan Stadion Manahan, sekitar 180 pedagang, dibuatkan shelter dan gerobak. Penjual makanan yang terkenal enak di beberapa wilayah dikumpulkan di Gladag Langen Bogan Solo, Gandekan. Lokasi kuliner yang hanya buka pada malam hari dengan menutup separuh Jalan Mayor Sunaryo tersebut sekarang menjadi tempat jajan paling ramai di kota itu.

Hingga kini, 52 persen dari 5.718 pedagang kaki lima sudah ditata. Sisanya mulai mendesak pemerintah kota agar diurus juga. "Sekarang kami yang kewalahan karena belum punya dana," kata Joko, tertawa. Tapi rencana terus jalan. Januari mendatang, misalnya, akan dibuat Pasar Malam di depan Mangkunegaran untuk 450 penjual barang kerajinan.

Joko juga punya perhatian khusus pada pasar-pasar tradisional yang selama 30-an tahun tak pernah diurus. Tiga tahun terakhir, 12 pasar tradisional ditata dan dibangun ulang. Targetnya, ketika masa jabatannya berakhir pada 2010, sebagian besar dari 38 pasar tradisional Solo telah dibangun ulang.

Ketika masih mengelola sendiri usaha mebelnya, Joko sering bepergian untuk pameran. Dia banyak melihat pasar di negara lain. Di Hong Kong dan Cina, menurutnya, pengunjung pasar jauh lebih banyak dari mal. Itu karena pasar tradisional komplet, segar, dan jauh lebih murah.

Di sini kebalikan. Ibu-ibu lebih suka ke mal karena pasarnya kotor dan berbau. "Makanya pasar saya benahi," katanya. Agar lebih menarik, tahun depan akan dibuat promosi: belanja di pasar dapat hadiah mobil.

Toh, tak sia-sia Joko ngopeni pedagang kecil. Meski modal cetek, pasar dan kaki lima di Solo paling banyak merekrut tenaga kerja. Mereka juga penyumbang terbesar pendapatan asli daerah. Tahun ini nilai pajak dan retribusi dari sektor itu mencapai Rp 14,2 miliar. Jauh lebih besar dibanding hotel, Rp 4 miliar, atau terminal, yang hanya Rp 3 miliar.

Thursday, October 14, 2010

Pondok Ban Tan

Kisah yang sangat menggelora, selamat membaca :)

Anies Baswedan
(Rektor Universitas Paramadina)

Ya Nabi salam alaika. . .
Ya Rasul salam alaika. . .
Ya habibie salam alaika. . .
Shalawatullah alaika. . .

Sekitar seribu anak-anak menghampar di lapang rumput depan pondok. Lautan kerudung dan peci putih melafalkan shalawat, khusyuk dan menggema.

Suasana pondok Pesantren Ban Tan malam ini terasa unik. Pondok kecil ini dibangun di pedalaman Thailand Selatan. Untuk mencapainya, harus terbang dari Bangkok yang jaraknya sekitar 750 km ke kota kecil Nakhon Si Thammarat. Lalu, dari bandara yang kecil itu, naik mobil kira-kira satu jam ke pedalaman. Masuk di tengah-tengah desa dan perkampungan umat Budha, di situ berdiri Pondok Ban Tan. Pondok ini dibangun awal abad lalu dengan beberapa orang murid. Niatnya sederhana, yaitu menjaga akidah umat Islam yang tersebar di kampung-kampung yang mayoritas penduduknya beragama Budha.

Melihat wajah anak-anak pondok, seperti kita sedang menatap masa depan. Anak-anak yang dititipkan orang tuanya untuk sekolah ke Pondok, yaitu untuk menjaga sejarah kehadiran Islam di kerajaan Budha ini. Di propinsi ini, mereka berdampingan dengan damai. Sebuah tradisi yang harus dijaga terus.

Malam ini, setelah berliku perjalanannya, seakan jadi salah satu event puncak untuk keluarga pengasuh pondok ini. Di awal tahun 1967, terjadi perdebatan panjang di antara para guru di pondok ini. Anak tertua Haji Ismail, pemimpin pondok ini, jadi bahan perdebatan. Anak usia 17 tahun itu memenangkan beasiswa AFS untuk sekolah SMA setahun di Amerika Serikat.

Pondok Ban Tan seakan goyah. Tak terbayangkan bagi mereka, dari perkampungan Muslim yang kecil, jauh dari keramaian dan di pedalaman Thailand di tahun 1960-an, cucu tertua pendiri pondok akan dikirimkan ke Amerika. Umumnya, santri-santri cerdas dikirim melanjutkan sekolah ke Jawa, Kedah, atau Kelantan; jika ada dana mereka akan dikirim ke Makkah atau Mesir. Tapi, Amerika? tidak pernah terlintas di benak mereka akan mengirim santri belajar ke Amerika. Saat itu, para guru di pondok terpecah pandangannya: separuh takut anak ini akan berubah bila dikirim ke negeri kufar (istilah yang digunakan dalam perdebatan itu), mereka tidak ingin kehilangan anak cerdas itu.

Setelah perdebatan panjang, Si Kakek, pendiri pondok itu, mengatakan, "Saya sudah didik cucu saya ini, saya percaya dia istikamah dan saya ikhlas jika dia berangkat." Ruang musyawarah di pondok itu jadi senyap. Tidak ada yang berani melawan fatwa Sang Guru. Haji Ismail, sang ayah, mengangguk setuju. Tidak lama kemudian berangkatlah anak muda tadi ke Amerika.

Tahun demi tahun lewat. Dan, dugaan guru-guru pondok itu terjadi: anak itu tidak pernah kembali jadi guru pondok. Dia tidak meneruskan mengelola warisan kakek dan ayahnya itu. Dia pergi jauh. Anak muda itu terlempar ke orbit lain.

Malam ini anak yang dulu diperdebatkan itu pulang. Dia pulang bukan sebagai orang asing, dia pulang membawa kebanggaan untuk seluruh keluarga, seluruh pondok, dan seluruh rakyat di propinsi kecil ini.

Dia pulang sebagai Sekretaris Jenderal ASEAN. Pondok Ban Tan jadi terkenal, kampung halaman jadi perhatian dunia. Sebelumnya, dia adalah menteri luar negeri Thailand, Muslim pertama yang jadi Menlu di negara berpenduduk mayoritas Budha.

Namanya dikenal oleh dunia sebagai Surin Pitsuwan; dikampungnya dia dikenal sebagai Abdul Halim bin Ismail.

Malam ini Surin pulang kampung membawa teman dan koleganya. Sekarang, seluruh bangunan pondok ini tampak megah. Setiap bangunan adalah dukungan dari berbagai negara. Anak ini pulang dengan membawa dukungan dunia untuk pondok mungil di pedalaman ini. Semua adiknya menjadi guru, meneruskan tradisi dakwah di kampung halamannya.

Saya menyaksikan bahwa sesungguhnya, Surin selalu 'hadir' di sini, dia membawa dunia. Dia menjadi jembatan lintas peradaban, dia jadi duta Muslim Thailand di dunia.

Dia tidak pernah hilang seperti ditakutkan guru-gurunya. Dia masih persis seperti kata kakeknya. Sejak pertama kali saya ngobrol dengan Surin, 3 tahun lalu di Hanoi, tutur kata dan pikirannya seakan mengatakan: isyhadu bi ana muslimin.

Ramadhan kemarin, saat kita makan malam-Ifthar bersama-di Bangkok, Surin cerita tentang ASEAN Muslim Research Organization Network (AMRON) conference di Walailak University dan ingin mengundang ke pondoknya awal Oktober. Saya jawab tidak bisa karena ada rencana acara di Bandung. Sesudah itu, dia kirim beberapa sms meyakinkan bahwa ke "Ban-Tan" lebih utama daripada ke "Ban-Dung".

Saat duduk di Masjid Al-Khalid, bersama ratusan santri, bersyukur rasanya mengubah jadwal dari ke Bandung jadi berangkat ke Ban Tan. Saya shalat Isya berjamaah duduk disamping Surin. Selesai shalat, ratusan tangan mengulur, semua berebut bersalaman dengannya. Wajah takjub santri-santri itu tidak bisa disembunyikan. Mereka semua seakan ingin bisa seperti Surin. Dia seakan jadi visualisasi nyata dari mimpi-mimpi para santri di kampung kecil di pedalaman Thailand.

Malam itu, di pelataran Pondok Ban Tan, dibuatkan panggung untuk menyambut. Santri-santri bergantian naik panggung. Mereka ragakan kemahiran bercakap Melayu, Inggris, dan Arab. Sebagai puncak acara, mereka tampilkan Leke Hulu (Zikir Hulu). Tradisi tarikat yang sudah dijadikan seni panggung. Seluruh santri ikut berzikir, gemuruhnya menggetarkan dada.

Besok paginya, Syaikhul Islam Thailand, pemimpin Muslim tertinggi di Thailand khusus datang dari Songklah, kota di sisi selatan, untuk sarapan pagi bersama di pondoknya. Kita ngobrol panjang dan saya tanya asal keturunannya karena garis wajahnya berbeda; dia jawab kakek saya dari Sumatra, tapi dia keturunan Hadramauth.

Hari itu saya bersyukur. Saya katakan itu pada Surin bahwa ini perjalanan luar biasa. Tapi, dia belum puas. Surin memanggil salah satu alumni pondoknya (seorang doktor ilmu manajemen) untuk mengantarkan saya ke masjid di kampung-kampung pesisir pantai untuk dikenalkan dengan Ustaz keturunan Minang.

Setelah melewati kampung-kampung dan pasar yang sangat sederhana, saya sampai di rumahnya yang sangat sederhana, di belakang madrasah yang dipimpinnya. Kita berdiskusi tentang suasana di sini, tentang Minang, dan tentang kemajuan. Lalu, dia mengambil bingkai-bingkai dari lemari, dia tunjukkan beberapa foto-foto orang tuanya, ayahnya dipaksa hijrah dari Maninjau di Ranah Minang karena perlawanan pada Belanda. Kira-kira 90 tahun yang lalu, dia sampai di Thailand Selatan dan jadi guru agama. Mengagumkan, anak-anak muda pemberani memang selalu jadi pilar kokohnya Dienul Islam. Mereka hadir dan hidup berdampingan penuh kedamaian.

Sekali lagi, kita ditunjukkan betapa hebatnya efek pendidikan. Beri fondasi akidah, bekali dengan modal akhlaqul karimah lalu biarkan anak muda terbang mencari ilmu, membangun network, merajut masa depan. Anak muda tidak takut menyongsong masa depan. Kelak ia akan pulang, menjawab doa ibunya, menjawab doa ayahnya dengan membawa ilmu, membawa manfaat bagi kampung halamannya, bagi negerinya, dan bagi umatnya.

Di bandara kita berpisah. Saya pulang kampung ke Jakarta dan Surin berangkat ke Brussel, memimpin delegasi para kepala pemerintahan ASEAN dalam ASEAN-European Summit.

Hari ini, anak yang dulu ditakutkan hilang itu akan memimpin delegasi pemimpin se-Asia Tenggara. Dan, pada hari ini juga, Ibunya masih tetap tinggal di pondok Ban Tan, sekitar 90 tahun, tetap mendoakan anaknya seperti saat melepasnya berangkat sekolah SMA ke Amerika dulu.

Dikutip dari: http://koran.republika.co.id/koran/24/120540/Pondok_Ban_Tan

I’ll spread my wings and I’ll learn how to fly
I’ll do what it takes til’ I touch the sky
And I’ll make a wish
Take a chance
Make a change
And breakaway
-Kelly Clarkson-

Saturday, October 9, 2010

Metropolitan

Pengerasan daya fisik, kekalahan mental, dari lingkungan-lingkungan yang mengekang, jalan-jalan yang kumuh, ketergesaan dan bising terminal: banyak darinya telah menghantui mereka yang makmur dan berhasil, maupun kaum proletar yang terbenam. Kota-kota melebar tanpa tujuan, memotong urat nadi keberadaan regionalnya, mencemarkan sarangnya sendiri, berupaya meraih langit sesudah bulan: makin banyak keuntungan di atas kertas, makin banyak tiruan palsu dalam kehidupan. Di bawah rezim demikian, makin besarlah kekuasaan yang tergenggam oleh sejumlah orang yang makin lama makin sedikit...

Di dalam metropolitan ini, kertas, tinta, dan seluloid lebih nyata dari daging dan darah. Di dalamnya, sejumlah besar massa rakyat, karena tak mampu meraih kehidupan yang lebih memuaskan, menganggap hidup sebagai kepalsuan, dan bersikap sebagai pembaca, penonton, pengamat pasif saja.. Mereka menatapi orang-orang ganas yang memerah kehidupan dalam pemogokan atau kerusuhan, arena tinju ataupun serangan militer, padahal untuk menolak tirani kecil yang berupa atasan langsung pun mereka tak miliki nyali...

Dikutip dari The City in History: Its Origins, Its Transformations, and Its Prospects karya Lewis Mumford

Menurut Marco Kusumawijaya kuncinya adalah substansi perencanaan dan sumber daya manusia yang disiplin dalam menegakkan pembangunan, sesuai rencana yang dipatuhi bersama. Di atas segalanya, harus ada rasa kepemilikan seluruh penduduk, yang hanya dapat dicapai melalui proses komunikasi sosial-politik yang baik.

Wednesday, October 6, 2010

Jakarta Terancam Tenggelam?

VIVAnews - Amblasnya jalan RE Martadinata sepanjang 103 meter, Jakarta Utara merupakan peringatan bagi pemda Jakarta. Bahkan, para pakar dan aktivis lingkungan sudah mengingatkan ancaman lebih besar terhadap Jakarta, khususnya Jakarta Utara.

"Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) sudah memperingatkan Jakarta akan tenggelam jika Pemda Jakarta tidak peduli dengan pembangunan yang mengabaikan lingkungan," ujar Selamet Daroyni, direktur Keadilan untuk Perkotaan Institut Hijau Indonesia kepada VIVAnews.com di Jakarta, 19 September 2010.

Peringatan itu disampaikan kepada Pemda DKI Jakarta sejak awal 2008. Isinya: Sebagian besar Kota Jakarta diprediksi akan tenggelam atau ditelan laut pada 2050. Penyebabnya, permukaan tanah terus menurun, banjir rob atau air laut pasang kerap menerjang, banjir kiriman rutin datang, proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut, serta arus laut yang bersifat merusak (abrasi).

"Kami perkirakan sebagian Jakarta mulai tenggelam pada 2030," kata Selamet. Perkiraan ini bisa terjadi bila Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak segera mengantisipasi. Apalagi, hampir 50 persen wilayah Jakarta sangat rawan amblas, khususnya Jakarta Utara.

Amblasnya Jalan RE Martadinata, menurut dia, adalah salah satu pertanda buruk. Tanda buruk lainnya yang sudah pernah terjadi adalah banjir rob besar yang menenggelamkan jalan tol Bandara Soekarno-Hatta pada 2008, jebolnya Situ Gintung setahun kemudian, dan tahun ini banyaknya tanggul jebol. Itu termasuk jebolnya tanggul penahan air sepanjang 115 meter di bantaran saluran Kanal Barat yang terletak di jalan Sultan Agung, Setiabudi, Jakarta Selatan beberapa hari lalu.

Menurut Direktur Wilayah II Binamarga, Winarno, amblesnya jalan Martadinata kemungkinan terjadi lantaran tiang pancang yang menjadi pondasi berada di tanah dengan kontur lunak sehingga mudah bergeser. Apalagi, ada pengerukan di laut yang menimbulkan abrasi sehingga jalan anjlok. "Selama ini jalan hanya ditinggikan," kata dia.

Jika mencermati kembali sejarah dari berita-berita tahun sebelumnya, jalan Martadinata yang terletak di pinggiran Jakarta Utara memang tergolong sangat rawan. Jalan ini selalu menjadi langganan banjir saat hujan menerjang Jakarta. Jalan ini juga rutin tergenang ketika banjir rob menghantam dari laut Jawa. Karena itu, setiap awal tahun, saat musim hujan dan musim rob, jalan Martadinata sudah langganan rusak dan berlubang.

Ironisnya, dari pantauan Walhi DKI Jakarta, bukan hanya jalan RE Martadinata yang terancam ambrol, dan sekarang sudah terbukti terjadi. Namun, masih ada deretan wilayah lain yang terancam ambrol, seperti Tanjung Priok, Pademangan, Ancol, Kp. Bandan, Jalan Lodan, dan Pasar Ikan Penjaringan di Jakarta Utara.

Itu di Jakarta Utara. Sedangkan, di Jakarta Pusat wilayah yang terancam ambles ada di Jalan Pangeran Jayakarta, Sawah Besar, dan sepanjang jalan protokol Jenderal Sudirman-MH Thamrin. Di Jakarta Timur yakni di Kawasan Industri Pulogadung dan Jalan Raya Bogor. Sedangkan, di Jakarta Barat terletak di Jalan Daan Mogot, Cengkareng, dan Kamal Muara.

“Ini harus segera diantisipasi jika tak ingin Jakarta ambruk total,” katanya Direktur Walhi Jakarta, Ubaidillah kepada VIVAnews.com.

Selamet dan Ubaidillah mengingatkan ada beberapa indikator mengapa Kota Jakarta terancam tenggelam 40 tahun ke depan. Pertama, dari curah hujan sebesar 1,2 miliar meter kubik setiap tahun yang terserap tanah hanya 26 persen, sisanya langsung ke laut. Kedua, rusaknya kawasan penyangga di Selatan Jakarta, seperti Depok, Tanggerang dan Bogor (dan kerusakan ini sangat parah--iftirar). Ketiga, terbengkalainya situ-situ dan danau yang saat ini berjumlah sekitar 200-an sehingga menyebabkan terjadinya banjir kiriman.

"Pada 2003-2004, ketinggian banjir di Jakarta hanya 5-10 cm, tapi enam tahun terakhir sudah mencapai 70 cm," tutur Selamet.

Keduanya menekankan pemerintah pusat maupun DKI Jakarta, perlu mempedulikan kaidah-kaidah lingkungan, tipologi lingkungan, dan teknologi yang mengedepankan lingkungan dalam pembangunan infrastruktur.

"Penggunaan air tanah yang berlebih telah berdampak buruk pada kondisi tanah, begitupun dengan pembangunan pusat belanja tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekologis," kata Ubaidillah.

Sedangkan, anggota Komisi V DPR RI asal Lampung KH Abdul Hakim menekankan perlunya Indonesia menggunakan teknologi anti banjir, seperti di Belanda. "Jika memungkinkan untuk mengantisipasi hal tersebut dengan water dam (bendungan air), kenapa tidak."
• dikutip dari VIVAnews, Senin, 20 September 2010

ps. Karena ancaman ini juga kuliahku tentang Tata Ruang untuk sementara terpaksa dihentikan :(

Saturday, September 25, 2010

Mengenali Masalah Tata Ruang

Sejumlah Masalah Tata Ruang

KOTA dan daerah pada dasarnya merupakan pengejawantahan budaya. Tom Turner (1996) menyebutnya dengan cultural-landscape, sebagai mosaik yang sarat dengan beraneka ragam karakter, sifat, kekhasan, keunikan, dan kepribadian. Karenanya, memahami sebuah kota atau daerah, pertama-tama yang harus dilakukan adalah memahami budaya dari berbagai kelompok masyarakat dan pengaruh dari tata nilai, norma, gaya hidup, kegiatan dan simbol-simbol yang mereka anut. Jelas, yang paling rumit dan kompleks adalah memahami perkotaan.

Mengapa? Sebab, dalam setiap kota yang merupakan melting-pot selalu terdapat pluralisme budaya. Dalam kondisi demikian, sulit dihindari benturan budaya yang rentan menciptakan kompleksitas dan kontradiksi. Akibatnya, tata ruang kota juga terentang antara homogenitas yang kaku dengan heterogenitas yang kenyal. Suatu bentuk yang gampang pemeriannya, tapi sulit pengejawantahannya.

Kerumitan lain, khususnya di perkotaan, berkaitan dengan dinamika perkembangan kota. Penduduk kota selalu berubah dan bergerak yang seringkali susah ditebak. Karena itu pola tata ruang kota yang terlalu ketat dan kaku, tidak akan bisa tanggap terhadap perubahan.

Mengatasi masalah semacam itu, suatu bentuk perencanaan yang open-ended akan dibutuhkan. Perencanaan model ini akan menentukan bagian-bagian tertentu dari sistem kota yang memberikan peluang bagi bagian lain, termasuk yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya, untuk bergerak spontan.

Perencanaan kota seperti itu juga akan memungkinkan penjabaran nilai, kebutuhan dan gaya hidup yang berbeda dapat berdampingan dalam satu lingkungan yang dinamik. Pengaruhnya, kelompok-kelompok penghuni kota yang berdatangan dengan mudah bisa menyesuaikan diri dan membentuk kembali secara kreatif organisasi ruang, waktu, makna, dan komunikasinya.

Namun sulit dibantah, para perencana kota yang menganut paham bahwa segala sesuatu harus direncanakan, dikontrol dan dipantau secara tegar, pasti akan menentang pola tersebut. Mereka beranggapan bahwa ekspresi individual atau kelompok yang dimungkinkan melalui perencanaan yang open-ended, bila dibiarkan akan menciptakan lingkungan yang kacau balau, berantakan, tidak teratur. Atau, dengan satu kata: jelek. ”We must get away from our haphazard way of doing things and sure that everything is planned down to the last detail,” begitulah kira-kira coleteh mereka. (Tapi saya setuju bahwa detail tetap diperlukan--Iftirar)

Padahal, pada kenyataannya, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sebuah kota yang ”down to the last detail” tidak hanya tidak mungkin, akan tetapi bahkan juga tidak diinginkan. Soalnya, banyak hal yang di luar dugaan muncul dengan tiba-tiba.

Kejadian dan perubahan, ekspresi dan improvisasi, merupakan faktor yang justru memanusiawikan lingkungan dan layak disalurkan perlu diberi wadah dan dikembangkan. Tentu saja, dengan catatan bahwa semua perubahan itu mesti dilandasi oleh itikad untuk menyejahterakan masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah yang berada di perkotaan.

Perencanaan kota yang open-ended akan menciptakan lingkungan yang memberikan tingkat kebebasan dan tindakan yang lebih bervariasi, di samping pelibatan masyarakat yang lebih besar, dan peluang untuk penyesuaian secara kreatif, bahkan modifikasi.

Di negara semaju Jepang pun tenda-tenda penjual bakso, bakmi, dan wedang ronde masih selalu didambakan keberadaannya karena konon berhasil menumbuhkan suasana akrab berskala manusia. Munculnya pun hanya pada saat-saat tertentu saja, biasanya malam hari. Lantas, kondisi seperti itu mereka sebut instant city alias kota dadakan. (Di Jakarta, warga bisa memberikan masukan untuk perencaan kota melalui Musrembang dan melihat RTRW di tiap kecamatan--Iftirar)

Sejumlah masalah
Perencanaan tata ruang selama ini masih cenderung berorientasi pada pencapaian tujuan ideal jangka panjang yang sering meleset akibat banyaknya ketidakpastian. Di sisi lain, masih banyak pula rencana yang disusun dengan pendekatan pemikiran sekadar untuk memecahkan masalah secara ad hoc yang berjangka pendek dan kurang berwawasan luas. Sering dilupakan bahwa short term gain akan berakibat pada long term pain. Seyogyanya pendekatan yang diambil mencakup keduanya. Ibarat melihat hutan sekaligus mengkaji pohon-pohonnya. Atau sebaliknya, melihat keunikan setiap jenis pohon, ditilik dalam konteks hutannya.

Rencana tata ruang yang baik tidak selalu menghasilkan penataan ruang yang baik pula bila tanpa didukung para pengelola perkotaan dan daerah yang handal, serta mekanisme pengawasan dan pengendalian pembangunannya pun kurang jelas.

Kecenderungan yang terjadi kini adalah perencanaan tata ruang terlalu ditekankan pada aspek penataan ruang dalam arti fisik dan visual, biasanya menyangkut tata guna lahan, sistem jaringan jalan dan infrastruktur atau prasarana lingkungan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan perencanaan komunitas (sosial-budaya) dan perencanaan sumber daya masih belum diperhatiankan sesuai porsinya. Demikian halnya dengan keterpaduan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan yang masih terkesan sebagai slogan atau hiasan bibir belaka, belum mengejawantah dalam kenyataan.

Kota dan daerah masih hampir selalu dilihat dalam bentuk hirarki pohon yang tampaknya saja sederhana, padahal dalam kehidupan sesungguhnya berbentuk hirarki-jaring yang sangat kompleks. Bisa jadi, hal tersebut disebabkan karena masih adanya arogansi sektoral dan egosentrisme wilayah yang cenderung menggunakan ’kacamata kuda’. Peran serta masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup pun masih sangat terbatas.

Grey areas, yaitu berupa rencana kawasan urban-design, yang sesungguhnya merupakan titik temu antara perencanaan kota yang berdimensi dua dengan perancangan arsitektur yang berdimensi tiga masih terjadi. Dengan kata lain, sesudah tersusunnya rencana kota mulai dari Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK), Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) dan Rencana Teknis Ruang Kota (RTRK), biasanya langsung meloncat ke perancangan arsitektur secara individual. Bahkan bila dirunut lebih lanjut, seringkali RUTRK dibuat lebih dulu ketimbang Rencana Tata Ruang Wilayah.

Yang cukup merisaukan adalah kekurangpekaan para penentu kebijakan, dan juga beberapa kalangan profesional, terhadap warisan peninggalan kuno yang pada hakikatnya merupakan bagian tak terpisahkan dalam sejarah perkotaan. Tergusur dan lenyapnya karya arsitektur langka yang estetis dan bernilai sejarah, berarti lenyapnya suatu babakan dari kisah perkembangan kota. Kota tanpa peninggalan arsitektur bersejarah, serupa saja dengan manusia tanpa ingatan.

Jalan keluarnya nampaknya perlu revitalisasi kawasan bersejarah yang perlu lebih digalakkan. Penekanan perencanaan kota dan daerah pun perlu seimbang dengan memperhatikan aspek lingkungan binaan dan pendayagunaan lingkungan alamiah.

Demikian halnya dengan tipisnya wibawa dan kekuatan hukum produk rencana tata ruang, cukup merisaukan. Tata ruang yang sudah tersusun dengan begitu saja dijungkirbalikkan karena adanya kehendak sesaat yang tidak konseptual. Nampaknya dimasa datang perencanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup perlu dilihat sebagai management of conflicts, tidak sekadar management of growth atau management of changes. Orientasi tujuan jangka panjang yang ideal perlu disenyawakan dengan pemecahan masalah jangka pendek yang bersifat inkremental.

Mekanisme development control yang ketat juga perlu ditegakkan, lengkap dengan sanksi bagi si pelanggar dan penghargaan bagi mereka yang taat pada peraturan. Hal lainnya, penataan ruang perlu dilakaukan secara total, menyeluruh dan terpadu. Model-model participatory planning dan over-the-board planning atau perencanaan lintas sektoral selayaknya dilakukan secara konsekuen dan berkesinambungan.

Demikian halnya dengan kepekaan sosiokultural para penentu kebijakkan dan para perencana seyogyanya lebih ditingkatkan. Sedangkan, kekayaan khasanah lingkungan alam mesti jadi perhatian dalam setiap setiap perencanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup.

Prof. Ir. Eko Budihardjo, MSc
Mantan Rektor Undip dan Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT)

Dikutip dari www.wawasasandigital.com

Thursday, September 9, 2010

Tausiyah Ramadhan (Hari XXX)

Tuhan Sembilan Senti
Oleh: Taufik Ismail

Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok,

Di sawah petani merokok,
di pabrik pekerja merokok,
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,
di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok,
hansip-bintara-perwira nongkrong merokok,
di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im
sangat ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,

Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok,
di ruang kepala sekolah ada guru merokok,
di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah dosen merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya
apakah ada buku tuntunan cara merokok,

Di angkot Kijang penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk
orang bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok,
sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok,

Negeri kita ini sungguh nirwana
kayangan para dewa-dewa bagi perokok,
tapi tempat cobaan sangat berat
bagi orang yang tak merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru,
diam-diam menguasai kita,

Di pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran di toko buku orang merokok,
di kafe di diskotik para pengunjung merokok,

Bercakap-cakap kita jarak setengah meter
tak tertahankan asap rokok,
bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun
menderita di kamar tidur
ketika melayani para suami yang bau mulut
dan hidungnya mirip asbak rokok,

Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul
saling menularkan HIV-AIDS sesamanya,
tapi kita tidak ketularan penyakitnya.
Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya
mengepulkan asap rokok di kantor atau di stopan bus,
kita ketularan penyakitnya.
Nikotin lebih jahat penularannya
ketimbang HIV-AIDS,

Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia,
dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu,
Bisa ketularan kena,

Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok,
di apotik yang antri obat merokok,
di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,
di ruang tunggu dokter pasien merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok,

Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil,
pertandingan bulutangkis,
turnamen sepakbola
mengemis-ngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok,

Di kamar kecil 12 meter kubik,
sambil ‘ek-’ek orang goblok merokok,
di dalam lift gedung 15 tingkat
dengan tak acuh orang goblok merokok,
di ruang sidang ber-AC penuh,
dengan cueknya,
pakai dasi,
orang-orang goblok merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im
sangat ramah bagi orang perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup
bagi orang yang tak merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru,
diam-diam menguasai kita,

Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh,
duduk sejumlah ulama terhormat merujuk
kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa.
Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.
Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka
terselip berhala-berhala kecil,
sembilan senti panjangnya,
putih warnanya,
ke mana-mana dibawa dengan setia,
satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya,

Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang,
tampak kebanyakan mereka
memegang rokok dengan tangan kanan,
cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri.
Inikah gerangan pertanda
yang terbanyak kelompok ashabul yamiin
dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?

Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu.
Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz.
Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz.
Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al hawwa’i.
Kalau tak tahan,
Di luar itu sajalah merokok.
Laa taqtuluu anfusakum.

Min fadhlik, ya ustadz.
25 penyakit ada dalam khamr.
Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi).
Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok.
Patutnya rokok diapakan?

Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz.
Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang,
karena pada zaman Rasulullah dahulu,
sudah ada alkohol,
sudah ada babi,
tapi belum ada rokok.

Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok,
Lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan,
jangan,

Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini.
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu,
yaitu ujung rokok mereka.
Kini mereka berfikir.
Biarkan mereka berfikir.
Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap,
dan ada yang mulai terbatuk-batuk,

Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini,
sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok.
Korban penyakit rokok
lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas,
lebih gawat ketimbang bencana banjir,
gempa bumi dan longsor,
cuma setingkat di bawah korban narkoba,

Pada saat sajak ini dibacakan,
berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara kita,
jutaan jumlahnya,
bersembunyi di dalam kantong baju dan celana,
dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna,
diiklankan dengan indah dan cerdasnya,

Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri,
tidak perlu ruku’ dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini,
karena orang akan khusyuk dan fana
dalam nikmat lewat upacara menyalakan api
dan sesajen asap tuhan-tuhan ini,

Rabbana,
beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.

ps. Salut buat Walikota Padang Panjang yang memberlakukan Perda anti rokok dengan baik, teruskan Pak! :)

Wednesday, September 8, 2010

Tausiyah Ramadhan (Hari XXIX)

"Ceritakan padaku Tuan, mengapa kau sampai digelari pedang Allah yang terhunus?" tanya Roderick, panglima Romawi dalam pertempuran Yarmuk. "Apakah Tuhan telah menurunkan sebilah pedang padamu dari langit, hingga kau ayunkan dia ke arah musuh maka kau pasti menghancurkan mereka?"

Tentu saja jawabnya tidak. Pedang Allah yang terhunus justru turun melalui sulbi seorang laki-laki yang cerdas namun angkuh bernama Walid bin Al Mughirah. Dia adalah tokoh Quraisy yang paling dihormati, yang berkata tentang Al-Qur'an,"Ini adalah sihir yang dipelajari." Maka, Allah pun menghinakannya. Tetapi Allah memuliakan Al-Qur'an yang dikagumi sekaligus didustakannya dengan putranya: Khalid bin Walid.

Cerita lebih jauh tentang Khalid bin Walid bisa kalian baca di Jalan Cinta Para Pejuang karya Salim A. Fillah bagian Keberanian yang Terhunus.

Intinya, Khalid mengoreksi prinsip yang dianutnya, bahwa perang bukanlah untuk perang itu sendiri.

"Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."
-QS. Al Baqarah: 216-

Tahun demi tahun berlalu, Khalid belajar lebih banyak. Dan gairah perangnya menjadikan semua peniti jalan cinta para pejuang, iri kepadanya. "Satu malam yang dingin berjaga dalam perang," katanya, "Lebih aku cintai daripada bermalam pertama dengan gadis perawan." Seseorang menjadi pahlawan bukan karena banyaknya darah yang ia tumpahkan atau peperangan yang ia lakukan, namun karena ia mencintai perdamaian.

Keberanian sejati mengenal rasa takut.
Dia tahu bagaimana takut kepada apa yang harus ditakuti.
Orang-orang yang tulus menghargai hidup dengan penuh kecintaan.
Mereka mendekapnya sebagai permata yang berharga.
Dan mereka memilih waktu serta tempat yang tepat untuk menyerahkannya.
Mati dengan penuh kemuliaan.
-Eiji Yoshikawa, Mushashi-

Tuesday, September 7, 2010

Tausiyah Ramadhan (Hari XXVIII)

Tebing Tak Tampak, Jurang Tak Tampak

oleh: Taufiq Ismail

Untuk Anak-anak Muda Sineas,

Yang Ingin Bebas Tanpa Batas

Di tepi desa kami ada sebuah tebing yang curam
Menghadap ke jurang yang dalam
Di atas tebing itu ada tanah datar lumayan luasnya
Di sana anak-anak kecil bisa bermain-main leluasa
Berkejar-kejaran, melompat-lompat ke sini dan ke sana
Berteriak-teriak, menjerit-jerit dan tertawa-tawa

Karena penduduk desa cinta pada anak-anak mereka
Masih waras dan tak mau anak-anak celaka
Termasuk juga untuk orang-orang dewasa
Maka di tepi tebing dibikinkan pagar sudah lama
Terbuat dari kayu, tua, terbatas kekuatannya
Agar tidak ada yang kepleset terjatuh ke jurang sana

Tebing itu lima puluh meter tingginya
Batu-batu besar bertabur di dasarnya
Semak dan belukar di tepi-tepinya
Hewan buas dan ular penghuninya
Kalau orang terjatuh ke dalamnya
Akan patah, cedera, cacat dan gegar otaknya

Nah, pada suatu hari
Ada anak-anak ABG berdemonstrasi
Menuntut yang menurut mereka sesuatu yang asasi
Dengan nada yang melengking dan tinggi
Tangan teracung, terayun ke kanan dan ke kiri
Dalam paduan suara yang diusahakan harmoni

"Kami menolak pagar tebing, apa pun bentuknya
Kami menuntut kebebasan sebebas-bebasnya
Bermain, melompat-lompat ke sini dan ke sana
Berkejar-kejaran tak ada batasnya

"Apa itu pagar? Kenapa dibatas-batasi?
Tubuh kami ini hak kami
Kami menggunakannya semau hati sendiri
Apa itu pembatasan?
Konsep kuno, melawan kemerdekaan
Cabut itu pagar, semuanya robohkan!"

Demo berlangsung, hiruk-pikuklah terdengar suara
Heboh seantero kampung dan desa
Orang-orang bertanya, ini ada apa
Kok jadi tegang suasana
Barulah situasi jadi agak reda, karena
Ternyata yang berdemo itu, anak-anak rabun dan buta

Monday, September 6, 2010

Tausiyah Ramadhan (Hari XXVII)

Budaya yang hadir di masa kita sekarang adalah budaya materialisme. Semuanya dilihat dari materi. Uang. Termasuk seni. Islam menganggap seni sebagai hal yang fitrah. Sebagaimana dijelaskan dalam QS. Saba' ayat 13:

"Mereka (para jin itu) bekerja untuk Sulaiman sesuai dengan apa yang dikehendakinya di antaranya (membuat) gedung-gedung yang tinggi, patung-patung, piring-piring, yang (besarnya) seperti kolam dan periuk-periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah wahai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur."

Dari ayat di atas, kita dapat melihat bahwa peradaban sejak Nabi Sulaiman as telah berada di puncaknya. Seni sebenarnya bersumber dari nilai religi, perwujudan dari ketakwaan. Namun pada akhirnya bergeser karena budaya itu sendiri. Seni juga memiliki nilai filosofis dan ideologis. Filosofis berarti seni merupakan hal yang dapat dipelajari. Sementara seni dalam ideologis adalah adanya ide dalam suatu seni.

Seni tidak bisa bernilai bebas karena seni itu sendiri adalah pesan. Kebebasan mutlak dalam Islam hanya dapat dimiliki oleh Allah ta'ala. Karenanya, seni bukanlah untuk seni. Tapi seni hanya untuk Allah swt.

"Dan Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki. Bagi mereka (manusia) tidak ada pilihan. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan."
-QS. Al-Qashashah: 68-

Sunday, September 5, 2010

Tausiyah Ramadhan (Hari XXVI)

Ikhsan adalah segala hal yang kita lakukan seolah-olah sedang dilihat Allah swt. Tak hanya ketika kita beribadah, pun dalam segala aktivitas. Di bawah ini adalah kisah tentang ikhsan.

Pada suatu hari Abdullah bin Umar menuju sebuah perkampungan. Setelah beberapa waktu perjalanan, rombongan tersebut berhenti untuk beristirahat. Tak jauh dari tempat peristirahatan Abdullah, ada penggembala kambing yang sedang mengawasi kambing-kambingnya.

Abdullah melihat sinar ketaatan di wajah pemuda penggembala kambing tersebut. Ia kemudian berniat mengujinya. Abdullah bin Umar kemudian mengajak penggembala kambing tersebut untuk makan siang bersama.

"Hai penggembala! Mari makan bersama!" ajak Abdullah bin Umar.
"Aku sedang berpuasa," jawab penggembala.
"Di hari sepanas ini kamu berpuasa? Dan di lembah segersang ini pula?" tanya Abdullah bin Umar.
"Aku terburu-buru karena dikejar-kejar oleh hari-hari setelah kematianku," jawab si penggembala.

Benarlah ia pemuda shalih, pikir Abdullah bin Umar. Abdullah kemudian memutuskan untuk terus mengujinya.

"Maukah kamu menjual seekor kambingmu kepadaku? Nanti aku akan beri dagingnya untuk kamu berbuka puasa," tawar Abdullah bin Umar.
"Kambing-kambing itu bukan milikku, melainkan milik majikanku," kata penggembala.

Abdullah bin Umar bermaksud menguji kekuatan iman si penggembala. Ia kemudian berkata, "Bukankah kamu bisa mengatakan kepada majikanmu bahwa kambing itu dimakan serigala?"

Penggembala itu kemudian pergi seraya berkata dengan tegas,"Faaina Allah?"
"Bagaimana urusanku dengan Allah?" tanya si penggembala terus-menerus.

Abdullah bin Umar tergetar melihat kekuatan iman si penggembala. Ia pun juga mengucapkan "Di mana Allah? Di mana Allah? Di mana Allah?"

Karena bahagianya, Abdullah bin Umar memanggil sang majikan penggembala. Ia beli kambing-kambingnya, memerdekakan si penggembala, dan memberikan kambing tersebut pada si penggembala.

Andai pemerintah seikhsan si penggembala... Merasa selalu diawasi Allah ta'ala.