Friday, December 31, 2010

Harapan

kita bermimpi tentang esok, dan esok tak pernah ada
kita bermimpi tentang kebanggaan yang tak benar-benar kita inginkan
kita bermimpi tentang hari baru ketika hari baru sudah tiba
kita lari dari peperangan ketika peperangan itu harus kita perjuangkan

kita mendengarkan panggilan namun tak pernah benar-benar memperhatikan
berharap akan masa depan ketika masa depan hanya direncanakan
bermimpi tentang kebijakan yang kita hindari setiap hari
berdoa bagi datangnya juru selamat ketika keselamatan ada di tangan kita

dan masih saja kita terlelap

dan masih saja kita terlelap
dan masih saja kita berdoa
dan masih saja kita takut

dan masih saja kita terlelap

Dikutip dari buku Dead Poet Society

Sunday, December 26, 2010

Mencintai Penanda Dosa

Artikel yang sangat menarik dari notes teman saya. Ia mencupliknya dari sini: http://salim-a-fillah.blog.friendster.com/2010/11/mencintai-penanda-dosa/

Mencintai Penanda Dosa

oleh Salim A. Fillah

Dalam hidup, Allah sering menjumpakan kita dengan orang-orang yang membuat hati bergumam lirih, “Ah, surga masih jauh.” Pada banyak kejadian, ia diwakili oleh orang-orang penuh cahaya yang kilau keshalihannya kadang membuat kita harus memejam mata.

Dalam tugas sebagai Relawan Masjid di seputar Merapi hari-hari ini, saya juga bersua dengan mereka-mereka itu. Ada suami-isteri niagawan kecil yang oleh tetangganya sering disebut si mabrur sebelum haji. Selidik saya menjawabkan, mereka yang menabung bertahun-tahun demi menjenguk rumah Allah itu, menarik uang simpanannya demi mencukupi kebutuhan pengungsi yang kelaparan dan kedinginan di pelupuk mata.

“Kalau sudah rizqi kami”, ujar si suami dengan mata berkaca nan manusiawi, “Kami yakin insyaallah akan kesampaian juga jadi tamu Allah. Satu saat nanti. Satu saat nanti.” Saya memeluknya dengan hati gerimis. Surga terasa masih jauh di hadapan mereka yang mabrur sebelum berhaji.

Ada lagi pengantin surga. Keluarga yang hendak menikahkan dan menyelenggarakan walimah putra-putrinya itu bersepakat mengalihkan beras dan segala anggaran ke barak pengungsi. Nikah pemuda-pemudi itu tetap berlangsung. Khidmat sekali. Dan perayaannya penuh doa yang mungkin saja mengguncang ‘Arsyi. Sebab semua pengungsi yang makan hidangan di barak nan mereka dirikan berlinangan penuh haru memohonkan keberkahan.

Catatan indah ini tentu masih panjang. Ada rumah bersahaja berkamar tiga yang menampung seratusan pelarian musibah. Untuk pemiliknya saya mendoa, semoga istana surganya megah gempita. Ada juru masak penginapan berbintang yang cutikan diri, membaktikan keahlian di dapur umum. Ada penjual nasi gudheg yang sedekahkan 2 pekan dagangannya bagi ransum para terdampak bencana. Semoga tiap butir nasi, serpih sayur, dan serat lelaukan bertasbih untuk mereka.

Ada juga tukang pijit dan tukang cukur yang keliling cuma-cuma menyegarkan raga-raga letih, barak demi barak. Ada dokter-dokter yang rela tinggalkan kenyamanan ruang berpendingin untuk berdebu-debu dan berjijik-jijik. Ada lagi para mahasiswa dan muda-mudi yang kembali mengkanakkan diri, membersamai dan menceriakan bocah-bocah pengungsi. Semua kebermanfaatan surgawi itu, sungguh membuat iri.

***

“Ah, surga masih jauh.”

Setelah bertaburnya kisah kebajikan, izinkan kali ini saya justru mengajak untuk menggumamkan keluh syahdu itu dengan belajar dari jiwa pendosa. Jiwa yang pernah gagal dalam ujian kehidupan dariNya. Mengapa tidak? Bukankah Al Quran juga mengisahkan orang-orang gagal dan pendosa yang berhasil melesatkan dirinya jadi pribadi paling mulia?

Musa pernah membunuh orang. Yunus bahkan sempat lari dari tugas risalah yang seharusnya dia emban. Adam juga. Dia gagal dalam ujian untuk tak mendekat pada pohon yang diharamkan baginya. Tapi doa sesalnya diabadikan Al-Quran. Kita membacanya penuh takjub dan khusyu’. “Rabb Pencipta kami, telah kami aniaya diri sendiri. Andai Kau tak sudi mengampuni dan menyayangi, niscaya jadilah kami termasuk mereka yang rugi-rugi.” Mereka pernah menjadi jiwa pendosa, tetapi sikap terbaik memuliakan kelanjutan sejarahnya.

Kini izinkan saya bercerita tentang seorang wanita yang selalu mengatakan bahwa dirinya jiwa pendosa. Kita mafhum, bahwa tiap pendosa yang bertaubat, berhijrah, dan berupaya memperbaiki diri umumnya tersuasanakan untuk membenci apa-apa yang terkait dengan masa lalunya. Hatinya tertuntun untuk tak suka pada tiap hal yang berhubungan dengan dosanya. Tapi bagaimana jika ujian berikut setelah taubat adalah untuk mencintai penanda dosanya?

Dan wanita dengan jubah panjang dan jilbab lebar warna ungu itu memang berjuang untuk mencintai penanda dosanya.

“Saya hanya ingin berbagi dan mohon doa agar dikuatkan”, ujarnya saat kami bertemu di suatu kota selepas sebuah acara yang menghadirkan saya sebagai penyampai madah. Didampingi ibunda dan adik lelakinya, dia mengisahkan lika-liku hidup yang mengharu-birukan hati. Meski sesekali menyeka wajah dan mata dengan sapu tangan, saya insyaf, dia jauh lebih tangguh dari saya.

“Ah, surga masih jauh.”

Kisahnya dimulai dengan cerita indah di semester akhir kuliah. Dia muslimah nan taat, aktivis dakwah yang tangguh, akhwat yang jadi teladan di kampus, dan penuh dengan prestasi yang menyemangati rekan-rekan. Kesyukurannya makin lengkap tatkala prosesnya untuk menikah lancar dan mudah. Dia tinggal menghitung hari. Detik demi detik serasa menyusupkan bahagia di nafasnya.

Ikhwan itu, sang calon suami, seorang lelaki yang mungkin jadi dambaan semua sebayanya. Dia berasal dari keluarga tokoh terpandang dan kaya raya, tapi jelas tak manja. Dikenal juga sebagai ‘pembesar’ di kalangan para aktivis, usaha yang dirintisnya sendiri sejak kuliah telah mengentas banyak kawan dan sungguh membanggakan. Awal-awal, si muslimah nan berasal dari keluarga biasa, seadanya, dan bersahaja itu tak percaya diri. Tapi niat baik dari masing-masing pihak mengatasi semuanya.

Tinggal sepekan lagi. Hari akad dan walimah itu tinggal tujuh hari menjelang, ketika sang ikhwan dengan mobil barunya datang ke rumah yang dikontraknya bersama akhwat-akhwat lain. Sang muslimah agak terkejut ketika si calon suami tampak sendiri. Ya, hari itu mereka berencana meninjau rumah calon tempat tinggal yang akan mereka surgakan bersama. Angkahnya, ibunda si lelaki dan adik perempuannya akan beserta agar batas syari’at tetap terjaga.

“’Afwan Ukhti, ibu dan adik tidak jadi ikut karena mendadak uwak masuk ICU tersebab serangan jantung”, ujar ikhwan berpenampilan eksekutif muda itu dengan wajah sesal dan merasa bersalah. “’Afwan juga, adakah beberapa akhwat teman Anti yang bisa mendampingi agar rencana hari ini tetap berjalan?”

“Sayangnya tidak ada. ‘Afwan, semua sedang ada acara dan keperluan lain. Bisakah ditunda?”

“Masalahnya besok saya harus berangkat keluar kota untuk beberapa hari. Sepertinya tak ada waktu lagi. Bagaimana?”

Akhirnya dengan memaksa dan membujuk, salah seorang kawan kontrakan sang Ukhti berkenan menemani mereka.

Tetapi bi-idzniLlah, di tengah jalan sang teman ditelepon rekan lain untuk suatu keperluan yang katanya gawat dan darurat. “Saya menyesal membiarkannya turun di tengah perjalanan”, kata muslimah itu pada saya dengan sedikit isak. “Meskipun kami jaga sebaik-baiknya dengan duduk beda baris, dia di depan dan saya di belakang, saya insyaf, itu awal semua petakanya. Kami terlalu memudah-mudahkan. AstaghfiruLlah.”

Ringkas cerita, mereka akhirnya harus berdua saja meninjau rumah baru tempat kelak surga cinta itu akan dibangun. Rumah itu tak besar. Tapi asri dan nyaman. Tidak megah. Tapi anggun dan teduh.

Saat sang muslimah pamit ke kamar mandi untuk hajatnya, dengan bantuan seekor kecoa yang membuatnya berteriak ketakutan, syaithan bekerja dengan kelihaian menakjubkan. “Di rumah yang seharusnya kami bangun surga dalam ridhaNya, kami jatuh terjerembab ke neraka. Kami melakukan dosa besar terlaknat itu”, dia tersedu. Saya tak tega memandang dia dan sang ibunda yang menggugu. Saya alihkan mata saya pada adik lelakinya di sebalik pintu. Dia tampak menimang seorang anak perempuan kecil.

“Kisahnya tak berhenti sampai di situ”, lanjutnya setelah agak tenang. “Pulang dari sana kami berada dalam gejolak rasa yang sungguh menyiksa. Kami marah. Marah pada diri kami. Marah pada adik dan ibu. Marah pada kawan yang memaksa turun di jalan. Marah pada kecoa itu. Kami kalut. Kami sedih. Merasa kotor. Merasa jijik. Saya terus menangis di jok belakang. Dia menyetir dengan galau. Sesal itu menyakitkan sekali. Kami kacau. Kami merasa hancur.” Dan kecelakaan itupun terjadi. Mobil mereka menghantam truk pengangkut kayu di tikungan. Tepat sepekan sebelum pernikahan.

“Setelah hampir empat bulan koma”, sambungnya, “Akhirnya saya sadar. Pemulihan yang sungguh memakan waktu itu diperberat oleh kabar yang awalnya saya bingung harus mengucap apa. Saya hamil. Saya mengandung. Perzinaan terdosa itu membuahkan karunia.” Saya takjub pada pilihan katanya. Dia menyebutnya “karunia”. Sungguh tak mudah untuk mengucap itu bagi orang yang terluka oleh dosa.

“Yang lebih membuat saya merasa langit runtuh dan bumi menghimpit adalah”, katanya terisak lagi, “Ternyata calon suami saya, ayah dari anak saya, meninggal di tempat dalam kecelakaan itu.”

“SubhanaLlah”, saya memekik pelan dengan hati menjerit. Saya pandangi gadis kecil yang kini digendong oleh sang paman itu. Engkaulah rupanya Nak, penanda dosa yang harus dicintai itu. Engkaulah rupanya Nak, karunia yang menyertai kekhilafan orangtuamu. Engkaulah rupanya Nak, ujian yang datang setelah ujian. Seperti perut ikan yang menelan Yunus setelah dia tak sabar menyeru kaumnya.

“Doakan saya kuat Ustadz”, ujarnya. Tiba-tiba, panggilan “Ustadz” itu terasa menyengat saya. Sergapan rasa tak pantas serasa melumuri seluruh tubuh. Bagaimana saya akan berkata-kata di hadapan seorang yang begitu tegar menanggung semua derita, bahkan ketika keluarga almarhum calon suaminya mencampakkannya begitu rupa. Saya masih bingung alangkah teganya mereka, keluarga yang konon kaya dan terhormat itu, mengatakan, “Bagaimana kami bisa percaya bahwa itu cucu kami dan bukan hasil ketaksenonohanmu dengan pria lain yang membuat putra kami tersayang meninggal karena frustrasi?”

“Doakan saya Ustadz”, kembali dia menyentak. “Semoga keteguhan dan kesabaran saya atas ujian ini tak berubah menjadi kekerasan hati dan tak tahu malu. Dan semoga sesal dan taubat ini tak menghalangi saya dari mencintai anak itu sepenuh hati.” Aduhai, surga masih jauh. Bahkan pinta doanya pun menakjubkan.

Allah, sayangilah jiwa-jiwa pendosa yang memperbaiki diri dengan sepenuh hati. Allah, jadikan wanita ini semulia Maryam. Cuci dia dari dosa-dosa masa lalu dengan kesabarannya meniti hari-hari bersama sang buah hati. Allah, balasi tiap kegigihannya mencintai penanda dosa dengan kemuliaan di sisiMu dan di sisi orang-orang beriman. Allah, sebab ayahnya telah Kau panggil, kami titipkan anak manis dan shalihah ini ke dalam pengasuhanMu nan Maha Rahman dan Rahim.

Allah, jangan pula izinkan hati kami sesedikit apapun menghina jiwa-jiwa pendosa. Sebab ada kata-kata Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Kitab Az Zuhd yang selalu menginsyafkan kami. “Sejak dulu kami menyepakati”, tulis beliau, “Bahwa jika seseorang menghina saudara mukminnya atas suatu dosa, dia takkan mati sampai Allah mengujinya dengan dosa yang semisal dengannya.”

NB: sahibatul hikayah berpesan agar kisah ini diceritakan untuk berbagi tentang betapa pentingnya menjaga iman, rasa taqwa, dan tiap detail syari’atNya di tiap langkah kehidupan. Juga agar ada pembelajaran untuk kita bisa memilih sikap terbaik menghadapi tiap uji kehidupan. Semoga Allah menyayanginya.

ps. Yaa muqallibal quluub, tsabbit qalbi 'ala diinik...

Friday, December 24, 2010

Pangeran Kecil

Saat itulah muncul si rubah.
"Selamat siang," sapa si rubah.
"Selamat siang," jawab pangeran kecil sopan, mendongak tapi tidak melihat apa-apa.
"Aku di sini," kata suara itu, "di bawah pohon apel."
"Siapa kau?" tanya pangeran kecil. "Kau cantik sekali."
"Aku rubah," jawab si rubah.
"Kemarilah dan bermain denganku," pangeran kecil mengusulkan. "Aku sedang sedih sekali.."
"Aku tak bisa bermain denganmu," kata si rubah. "Belum ada yang menjinakkan aku."
"Oh! Maaf," ujar pangeran kecil.
Kemudian, setelah berpikir sejenak, dia menambahkan:
"Apa artinya 'menjinakkan'?"
"Kau tidak berasal dari daerah sini," kata si rubah.
"Apa yang kaucari?"
"Aku mencari manusia. Apa artinya 'menjinakkan'?"
"Manusia," kata si rubah, "Mereka punya senapan dan mereka berburu. Sangat mengganggu! Mereka juga memelihara ayam. Hanya itu yang menarik dari mereka. Apa kau mencari ayam?"
"Tidak," kata pangeran kecil. "Aku mencari teman. Apa artinya 'menjinakkan'?"
"Sesuatu yang sering kali diabaikan," kata si rubah.
"Artinya 'menciptakan ikatan'."
"Menciptakan ikatan?"
"Tepat," kata si rubah."Bagiku, kau sekarang hanyalah seorang anak laki-laki kecil, sama seperti seratus ribu anak-anak lainnya. Dan aku tak membutuhkanmu. Dan kau juga tak membutuhkan aku. Aku hanyalah seekor rubah seperti seratus ribu rubah lainnya. Tetapi jika kau menjinakkanku, kita akan saling membutuhkan. Bagiku, kau akan unik di dunia ini. Bagimu, aku akan unik di dunia ini."
"Aku mulai mengerti," kata pangeran kecil. "Aku kenal setangkai bunga... kurasa dia telah menjinakkanku..."
"Mungkin sekali," kata si rubah. "Di bumi ini kita menyaksikan segala macam hal."
"Oh! Tetapi itu tidak terjadi di bumi," kata pangeran kecil.
Si rubah tampak sangat berminat.
"Di planet lain, kalau begitu?"
"Ya."
"Apa ada pemburu di planet lain ini?"
"Tidak."
"Menarik sekali. Dan ayam?"
"Tak ada juga."
"Memang tak ada yang sempurna di dunia ini," kata si rubah menghela napas.
Tetapi si rubah kembali pada pemikirannya.
"Hidupku sangat datar. Aku memburu ayam-ayam, manusia memburuku. Semua ayam itu sama, semua manusia itu sama. Akibatnya aku agak bosan. Tetapi jika kau menjinakkan aku, hari-hariku akan jadi seperti dipenuhi sinar matahari. Aku akan mengenali bunyi langkah kaki yang berbeda daripada bunyi langkah kaki lainnya. Langkah-langkah kaki lain akan membuatku melarikan diri ke dalam lubangku di tanah. Langkah kakimu akan memanggilku ke luar, seperti musik. Lagi pula, lihat di sana itu. Kaulihat ladang jagung itu? Nah, aku tak makan roti. Jagung tak ada gunanya bagiku. Ladang jagung tak mengingatkanku pada apapun. Itu menyedihkan. Sebaliknya, rambutmu berwarna emas. Jadi bayangkan, betapa menyenangkannya jika kau telah menjinakkanku. Jagung yang keemasan akan mengingatkanku padamu. Dan aku akan menyukai desau angin di ladang jagung..."
Si rubah terdiam dan menatap pangeran kecil lama sekali.
"Ayolah," katanya, "Jinakkan aku!"
"Aku ingin menjinakkanmu," jawab pangeran kecil, "Tetapi aku tak punya banyak waktu. Aku harus mencari teman dan belajar memahami banyak hal."
"Kita hanya bisa memahami apa yang telah kita jinakkan. Manusia tak lagi punya waktu untuk memahami segala hal. Mereka membeli segala barang yang sudah jadi di toko. Tetapi tak ada toko yang menjual teman, maka manusia tak lagi punya teman. Jika kau menginginkan teman, jinakkanlah aku!"
"Apa yang harus kulakukan?" kata pangeran kecil.
"Kau harus sabar sekali," jawab si rubah. Mula-mula kau duduk dalam jarak yang tak begitu jauh dariku, seperti itu, di rumput. Aku akan memandangmu dari sudut mataku dan kau tak akan mengatakan apa-apa; kata-kata adalah sumber kesalahpahaman. Tetapi setiap hari kau boleh duduk lebih dekat kepadaku."
Hari berikutnya pangeran kecil datang lagi.
"Sebaiknya setiap hari kau datang pada waktu yang sama," kata si rubah. "Misalnya saja, jika kau datang pada pukul empat sore, sejak pukul tiga aku sudah mulai senang. Makin dekat waktu pertemuan kita, makin senang aku. Pukul empat aku akan mulai resah dan cemas; aku akan menyadari nilai kebahagiaan! Tetapi jika kau muncul sembarang waktu, aku tak akan pernah tahu kapan harus mulai menyiapkan hatiku untukmu... Kita semua memerlukan ritual."
"Apa artinya ritual?" tanya pangeran kecil.
"Itu juga sesuatu yang sering diabaikan," kata si rubah.
"Rituallah yang membuat satu hari berbeda dari hari-hari lainnya, satu jam berbeda dari jam-jam lainnya. Ada ritual, misalnya, di antara para pemburuku. Pada hari Kamis mereka berdansa dengan gadis-gadis desa. Maka hari Kamis adalah hari yang luar biasa menyenangkan bagiku! Aku bisa berjalan-jalan sampai ke kebun anggur. Jika para pemburu itu berdansa pada hari apa saja, semua hari akan sama, dan aku tak akan pernah punya hari libur."
Maka pangeran kecil menjinakkan si rubah. Dan ketika saat kepergiannya sudah semakin mendekat:
"Ah!" kata si rubah, "Aku mau menangis."
"Salahmu sendiri," kata pangeran kecil. "Aku tak pernah bermaksud menyusahkanmu, tetapi kau ingin aku menjinakkanmu..."
"Ya, memang," kata si rubah.
"Tetapi sekarang kau mau menangis!" kata pangeran kecil.
"Ya, memang," kata si rubah.
"Jadi, kau tak mendapatkan keuntungan apapun dari hubungan kita ini!"
"Oh, aku mendapatkan keuntungan," kata si rubah, "sehubungan dengan warna jagung."
Kemudian dia menambahkan,
"Pergilah lihat mawar-mawar itu lagi. Kau akan mengerti bahwa, bagaimanapun juga, mawarmu unik di dunia ini. Kemudian kembalilah dan ucapkan selamat tinggal kepadaku. Sebagai hadiah, aku akan memberitahumu suatu rahasia."
Pangeran kecil pergi melihat mawar-mawar itu lagi.
"Kalian sama sekali tidak seperti mawarku," katanya kepada mereka.
"Kalian tak berarti apa-apa. Tak seorang pun menjinakkan kalian, dan kalian juga tidak menjinakkan siapapun. Kalian seperti rubahku sebelum ini. Waktu itu dia hanya sekadar rubah, seperti seratus ribu rubah lainnya.Tetapi aku membuatnya menjadi temanku, dan sekarang dia unik di dunia ini."
Dan mawar-mawar itu merasa sangat tak nyaman.
"Kalian cantik sekali, tetapi kalian hampa," dia melanjutkan.
"Tak ada orang yang bersedia mati untuk kalian. Tentu saja, orang yang sekadar lewat akan mengira mawarku sama persis seperti kalian. Tetapi mawarku, walaupun cuma setangkai, jauh lebih berarti daripada kalian semua, karena dialah yang kusirami. Karena dialah yang kututup dengan kubah kaca. Karena dialah yang kulindungi dengan tabir. Karena dialah yang ulat-ulatnya kubunuh (kecuali dua atau tiga yang kami biarkan hidup agar menjadi kupu-kupu). Karena dialah yang kudengarkan, waktu dia mengeluh, atau menyombongkan diri, atau ketika dia cuma membisu. Karena dia mawarku."
Dan pangeran kecil kembali kepada si rubah.
"Selamat tinggal," katanya.
"Selamat tinggal," kata si rubah. "Inilah rahasiaku, sangat sederhana: kau hanya bisa melihat jelas dengan hatimu. Hal yang penting tak terlihat oleh mata."
"Hal yang penting tak terlihat oleh mata," ulang pangeran kecil, agar ingat.
"Waktu yang kauhabiskan untuk mawarmulah yang membuat mawarmu begitu penting."
"Waktu yang telah kuhabiskan untuk mawarku..." ulang pangeran kecil, agar ingat.
"Manusia sudah melupakan kebenaran ini," kata si rubah. "Tetapi kau tak boleh lupa. Kau harus bertanggung jawab, selamanya, atas apa yang telah kau jinakkan. Kau bertanggung jawab atas mawarmu."
"Aku bertanggung jawab atas mawarku..." ulang pangeran kecil, agar ingat.

-This story taken from Le Petit Prince, my fave book ever in Goodreads, by Antoine de Saint-Exupery-