Saturday, October 9, 2010

Metropolitan

Pengerasan daya fisik, kekalahan mental, dari lingkungan-lingkungan yang mengekang, jalan-jalan yang kumuh, ketergesaan dan bising terminal: banyak darinya telah menghantui mereka yang makmur dan berhasil, maupun kaum proletar yang terbenam. Kota-kota melebar tanpa tujuan, memotong urat nadi keberadaan regionalnya, mencemarkan sarangnya sendiri, berupaya meraih langit sesudah bulan: makin banyak keuntungan di atas kertas, makin banyak tiruan palsu dalam kehidupan. Di bawah rezim demikian, makin besarlah kekuasaan yang tergenggam oleh sejumlah orang yang makin lama makin sedikit...

Di dalam metropolitan ini, kertas, tinta, dan seluloid lebih nyata dari daging dan darah. Di dalamnya, sejumlah besar massa rakyat, karena tak mampu meraih kehidupan yang lebih memuaskan, menganggap hidup sebagai kepalsuan, dan bersikap sebagai pembaca, penonton, pengamat pasif saja.. Mereka menatapi orang-orang ganas yang memerah kehidupan dalam pemogokan atau kerusuhan, arena tinju ataupun serangan militer, padahal untuk menolak tirani kecil yang berupa atasan langsung pun mereka tak miliki nyali...

Dikutip dari The City in History: Its Origins, Its Transformations, and Its Prospects karya Lewis Mumford

Menurut Marco Kusumawijaya kuncinya adalah substansi perencanaan dan sumber daya manusia yang disiplin dalam menegakkan pembangunan, sesuai rencana yang dipatuhi bersama. Di atas segalanya, harus ada rasa kepemilikan seluruh penduduk, yang hanya dapat dicapai melalui proses komunikasi sosial-politik yang baik.

No comments: