Friday, December 24, 2010

Pangeran Kecil

Saat itulah muncul si rubah.
"Selamat siang," sapa si rubah.
"Selamat siang," jawab pangeran kecil sopan, mendongak tapi tidak melihat apa-apa.
"Aku di sini," kata suara itu, "di bawah pohon apel."
"Siapa kau?" tanya pangeran kecil. "Kau cantik sekali."
"Aku rubah," jawab si rubah.
"Kemarilah dan bermain denganku," pangeran kecil mengusulkan. "Aku sedang sedih sekali.."
"Aku tak bisa bermain denganmu," kata si rubah. "Belum ada yang menjinakkan aku."
"Oh! Maaf," ujar pangeran kecil.
Kemudian, setelah berpikir sejenak, dia menambahkan:
"Apa artinya 'menjinakkan'?"
"Kau tidak berasal dari daerah sini," kata si rubah.
"Apa yang kaucari?"
"Aku mencari manusia. Apa artinya 'menjinakkan'?"
"Manusia," kata si rubah, "Mereka punya senapan dan mereka berburu. Sangat mengganggu! Mereka juga memelihara ayam. Hanya itu yang menarik dari mereka. Apa kau mencari ayam?"
"Tidak," kata pangeran kecil. "Aku mencari teman. Apa artinya 'menjinakkan'?"
"Sesuatu yang sering kali diabaikan," kata si rubah.
"Artinya 'menciptakan ikatan'."
"Menciptakan ikatan?"
"Tepat," kata si rubah."Bagiku, kau sekarang hanyalah seorang anak laki-laki kecil, sama seperti seratus ribu anak-anak lainnya. Dan aku tak membutuhkanmu. Dan kau juga tak membutuhkan aku. Aku hanyalah seekor rubah seperti seratus ribu rubah lainnya. Tetapi jika kau menjinakkanku, kita akan saling membutuhkan. Bagiku, kau akan unik di dunia ini. Bagimu, aku akan unik di dunia ini."
"Aku mulai mengerti," kata pangeran kecil. "Aku kenal setangkai bunga... kurasa dia telah menjinakkanku..."
"Mungkin sekali," kata si rubah. "Di bumi ini kita menyaksikan segala macam hal."
"Oh! Tetapi itu tidak terjadi di bumi," kata pangeran kecil.
Si rubah tampak sangat berminat.
"Di planet lain, kalau begitu?"
"Ya."
"Apa ada pemburu di planet lain ini?"
"Tidak."
"Menarik sekali. Dan ayam?"
"Tak ada juga."
"Memang tak ada yang sempurna di dunia ini," kata si rubah menghela napas.
Tetapi si rubah kembali pada pemikirannya.
"Hidupku sangat datar. Aku memburu ayam-ayam, manusia memburuku. Semua ayam itu sama, semua manusia itu sama. Akibatnya aku agak bosan. Tetapi jika kau menjinakkan aku, hari-hariku akan jadi seperti dipenuhi sinar matahari. Aku akan mengenali bunyi langkah kaki yang berbeda daripada bunyi langkah kaki lainnya. Langkah-langkah kaki lain akan membuatku melarikan diri ke dalam lubangku di tanah. Langkah kakimu akan memanggilku ke luar, seperti musik. Lagi pula, lihat di sana itu. Kaulihat ladang jagung itu? Nah, aku tak makan roti. Jagung tak ada gunanya bagiku. Ladang jagung tak mengingatkanku pada apapun. Itu menyedihkan. Sebaliknya, rambutmu berwarna emas. Jadi bayangkan, betapa menyenangkannya jika kau telah menjinakkanku. Jagung yang keemasan akan mengingatkanku padamu. Dan aku akan menyukai desau angin di ladang jagung..."
Si rubah terdiam dan menatap pangeran kecil lama sekali.
"Ayolah," katanya, "Jinakkan aku!"
"Aku ingin menjinakkanmu," jawab pangeran kecil, "Tetapi aku tak punya banyak waktu. Aku harus mencari teman dan belajar memahami banyak hal."
"Kita hanya bisa memahami apa yang telah kita jinakkan. Manusia tak lagi punya waktu untuk memahami segala hal. Mereka membeli segala barang yang sudah jadi di toko. Tetapi tak ada toko yang menjual teman, maka manusia tak lagi punya teman. Jika kau menginginkan teman, jinakkanlah aku!"
"Apa yang harus kulakukan?" kata pangeran kecil.
"Kau harus sabar sekali," jawab si rubah. Mula-mula kau duduk dalam jarak yang tak begitu jauh dariku, seperti itu, di rumput. Aku akan memandangmu dari sudut mataku dan kau tak akan mengatakan apa-apa; kata-kata adalah sumber kesalahpahaman. Tetapi setiap hari kau boleh duduk lebih dekat kepadaku."
Hari berikutnya pangeran kecil datang lagi.
"Sebaiknya setiap hari kau datang pada waktu yang sama," kata si rubah. "Misalnya saja, jika kau datang pada pukul empat sore, sejak pukul tiga aku sudah mulai senang. Makin dekat waktu pertemuan kita, makin senang aku. Pukul empat aku akan mulai resah dan cemas; aku akan menyadari nilai kebahagiaan! Tetapi jika kau muncul sembarang waktu, aku tak akan pernah tahu kapan harus mulai menyiapkan hatiku untukmu... Kita semua memerlukan ritual."
"Apa artinya ritual?" tanya pangeran kecil.
"Itu juga sesuatu yang sering diabaikan," kata si rubah.
"Rituallah yang membuat satu hari berbeda dari hari-hari lainnya, satu jam berbeda dari jam-jam lainnya. Ada ritual, misalnya, di antara para pemburuku. Pada hari Kamis mereka berdansa dengan gadis-gadis desa. Maka hari Kamis adalah hari yang luar biasa menyenangkan bagiku! Aku bisa berjalan-jalan sampai ke kebun anggur. Jika para pemburu itu berdansa pada hari apa saja, semua hari akan sama, dan aku tak akan pernah punya hari libur."
Maka pangeran kecil menjinakkan si rubah. Dan ketika saat kepergiannya sudah semakin mendekat:
"Ah!" kata si rubah, "Aku mau menangis."
"Salahmu sendiri," kata pangeran kecil. "Aku tak pernah bermaksud menyusahkanmu, tetapi kau ingin aku menjinakkanmu..."
"Ya, memang," kata si rubah.
"Tetapi sekarang kau mau menangis!" kata pangeran kecil.
"Ya, memang," kata si rubah.
"Jadi, kau tak mendapatkan keuntungan apapun dari hubungan kita ini!"
"Oh, aku mendapatkan keuntungan," kata si rubah, "sehubungan dengan warna jagung."
Kemudian dia menambahkan,
"Pergilah lihat mawar-mawar itu lagi. Kau akan mengerti bahwa, bagaimanapun juga, mawarmu unik di dunia ini. Kemudian kembalilah dan ucapkan selamat tinggal kepadaku. Sebagai hadiah, aku akan memberitahumu suatu rahasia."
Pangeran kecil pergi melihat mawar-mawar itu lagi.
"Kalian sama sekali tidak seperti mawarku," katanya kepada mereka.
"Kalian tak berarti apa-apa. Tak seorang pun menjinakkan kalian, dan kalian juga tidak menjinakkan siapapun. Kalian seperti rubahku sebelum ini. Waktu itu dia hanya sekadar rubah, seperti seratus ribu rubah lainnya.Tetapi aku membuatnya menjadi temanku, dan sekarang dia unik di dunia ini."
Dan mawar-mawar itu merasa sangat tak nyaman.
"Kalian cantik sekali, tetapi kalian hampa," dia melanjutkan.
"Tak ada orang yang bersedia mati untuk kalian. Tentu saja, orang yang sekadar lewat akan mengira mawarku sama persis seperti kalian. Tetapi mawarku, walaupun cuma setangkai, jauh lebih berarti daripada kalian semua, karena dialah yang kusirami. Karena dialah yang kututup dengan kubah kaca. Karena dialah yang kulindungi dengan tabir. Karena dialah yang ulat-ulatnya kubunuh (kecuali dua atau tiga yang kami biarkan hidup agar menjadi kupu-kupu). Karena dialah yang kudengarkan, waktu dia mengeluh, atau menyombongkan diri, atau ketika dia cuma membisu. Karena dia mawarku."
Dan pangeran kecil kembali kepada si rubah.
"Selamat tinggal," katanya.
"Selamat tinggal," kata si rubah. "Inilah rahasiaku, sangat sederhana: kau hanya bisa melihat jelas dengan hatimu. Hal yang penting tak terlihat oleh mata."
"Hal yang penting tak terlihat oleh mata," ulang pangeran kecil, agar ingat.
"Waktu yang kauhabiskan untuk mawarmulah yang membuat mawarmu begitu penting."
"Waktu yang telah kuhabiskan untuk mawarku..." ulang pangeran kecil, agar ingat.
"Manusia sudah melupakan kebenaran ini," kata si rubah. "Tetapi kau tak boleh lupa. Kau harus bertanggung jawab, selamanya, atas apa yang telah kau jinakkan. Kau bertanggung jawab atas mawarmu."
"Aku bertanggung jawab atas mawarku..." ulang pangeran kecil, agar ingat.

-This story taken from Le Petit Prince, my fave book ever in Goodreads, by Antoine de Saint-Exupery-

No comments: