Wednesday, August 20, 2008

Sekolah: Tempat Pencarian

Setelah menonton film Harry Potter and The Prisoner of Azkaban, saya jadi teringat dengan masa sekolah dulu. Sekolah ialah tempat bermain, bereksperimen, serta bersosialisasi. Tempat mewujudkan impian menjadi kenyataan. Tempat menaruh asa melalui perjalanan kehidupan.

Sayangnya, tak semua sekolah seperti itu. Sistem kapitalistik telah mengubah sendi-sendi kemanusiaan menjadi mesin. Manusia layaknya robot, tak peduli dengan sesama dan kondisi sekitar. Teknologi sebagai alat silaturrahim malah membuat manusia terasing. Media pun menambah beban tersebut menjadi makin berat. Tak ada idealisme, apalagi etika dan tanggungjawab sosial. Sekolah seharusnya mengajarkan “sense of nation”, rasa kebangsaan. Pendidikan tak hanya transfer of knowledge, tapi turut memproduksi kultur nasionalisme.

Dulu, di sekolahlah, saya belajar kedewasaan dan persahabatan. Belajar arti tanggungjawab dan kemandirian. Kadang tidak melulu indah, ada pil pahit yang mesti ditelan begitu saja. Ada sedih yang mendalam pada masa-masa itu. Namun, bila obat tersebut telah melaju melalui kerongkongan dan menjalar menerobos masuk ke dalam tubuh, sakit tidak akan terasa lagi. Duka menjadi sirna dan sedih berganti gembira.

Layaknya kepompong, ada proses menyakitkan yang mesti dilewati. Kadang, sahabat terbaik atau teman terkasih harus direlakan pergi dan menghilang. Namun, bila kita sabar dalam masa-masa yang yang menyulitkan, akan ada akhir yang indah untuk dinanti. Jawaban atas penantian yang tak henti. Kisah indah yang diceritakan kepada tiap orang dan akan abadi.

Tak usah berlari ke mana-mana untuk mencari bulan
Tak perlu berkelana untuk melihat kemari
Datang saja kemari
Ke rumah cinta ilalang
Kami sedang bersama: berdialektika tentang berjuta makna
(Afifah Afra)

3 comments:

Anonymous said...

Satu lagi paradigma yang salah, mengenai sekolah...dalam islam sekolah bukanlah ditujukan utamanya untuk mendapatkan materi seperti sekarang, tetapi seharusnya untuk beribadah kepada Allah (mempelajari islam dan science), sekali lagi landasan kapitalistik sangat mempengaruhi pendidikan kita.

Seperti sebuah simfoni musik
Ilmu adalah laksana untaian-untaian not tak berhingga kedalamannya
Ilmu itu akan memberi keindahan jika untaiannya teratur
Tetapi keindahannya tidak akan merasuk ke jiwa jika tidak dilandasai perasaan yang mendalam
Dengan ilmu kau bisa meraih dunia dan juga dunia setelah dunia

can't stop my self to write

Iftirar said...

sepakat!

ilmu yang bermanfaat harusnya menjadikan kita tambah dekat dengan Sang Pencipta, bukannya malah mengejar dunia dan seisinya dengan penuh nafsu serta keserakahan

ps. perasaan yang mendalam dalam menuntut ilm, what is that?

Anonymous said...

layaknya sebuah lagu, tidak akan menyentuh jiwa jika dinyanyikan tanpa penghayatan, sedangkan Ilmu hanya akan menjadi wacana belaka tanpa sebuah pengamalan

Menuntut ilmu bukan hanya untuk kepuasan intelektual, tetapi ilmu haruslah terintegrasi untuk diejawantahkan dalam sebuah kepribadian

while counting for the last 35/37