Tuesday, November 16, 2010

Dua Hentakan Iman

Ajarkan pada kami Bunda Hajar
Bagaimana perasaan iman menghajar
Rasa khawatir dan cemburu yang membakar

Wahai para sahabat yang menggali parit
Bisakah kalian rumuskan dalam sebait
Bagaimana nalar iman meloncat tinggi
Melampaui nalar munafik yang berbukti-bukti

Tiga manusia itu sedang melintas di sebuah lembah. Kosong, gersang, terik, liar, tak berpenghuni. Tak tampak hewan, tak terlihat tanaman. Mereka adalah seorang lelaki yang mulai menua, dan seorang wanita yang menggendong bayi yang merah. Rasa lelah membuat mereka berhenti. Dan sang bayi yang kehausan mulai menetek pada ibunya.

Tetapi laki-laki lain itu, suaminya yang shalih, tiba-tiba saja berjalan ke arah utara. Sekilas sang istri melihat ada kaca-kaca di pelupuk matanya. Dan ia terus berjalan. Hingga sang istri kemudian sadar, bahwa ia dan bayinya telah ditinggalkan. Maka ia pun mengejar, mencoba menyusul. Ia berlari kecil dengan bayi merahnya terguncang-guncang dalam gendongan.

“Mengapa kau tinggalkan kami hai Ibrahim?” serunya penuh tanya.
Lelaki itu, Ibrahim, tak menjawab. Ia hanya berhenti sejenak, menghela napas dalam-dalam dan menahan isak.

“Mengapa kau tinggalkan kami Hai Ibrahim?”

Yang ditanya tetap diam. Ia tak mampu menjawab. Lalu ia melangkah lagi, sedikit menyerong, menghindar dari istrinya yang menghadang.

“Mengapa kau tinggalkan kami hai Ibrahim?”

Ibrahim masih diam. Dalam hatinya berkecamuk sejuta senyawa rasa. Dia yang menanti-nanti kelahiran buah hati berpuluh tahun lamanya. Dia yang melalui malam-malamnya dengan doa-doa, memohon ada tangis kecil yang memecah kesunyian rumahnya. Kini Allah telah memberikan anugrah itu, Ismail. Dan kini, Allah tiba-tiba memintanya meninggalkan Ismail dan ibunya di tanah tak berpenghidupan ini. Ia akan merasa sepi lagi. Ia akan dilanda khawatir tak bertepi. Tetapi apa daya seorang hamba? Dan mengapa harus bersangka pada Allah dengan yang tak semestinya? Ya, ia ridha dengan perintah-Nya. Hanya saja ia tak sanggup menjawab Hajar. Lapis bening di matanya telah berubah menjadi genangan. Hatinya gerimis.

“Apakah ini perintah Allah?” tiba-tiba Hajar mengubah pertanyaan.

Ibrahim terhenyak. Ia berhenti sesaat, lalu berbalik. Tatapannya ditumbukkan ke bola mata Hajar yang bening dan polos. Kedua tangannya mencekau lengan-lengan Hajar. “Ya,” katanya. Helaan napasnya panjang dan berat. “Ini perintah Allah.”

Sesaat hening. Mereka berpelukan. “Kalau ini perintah Allah,” kata Hajar berbisik di telinga suaminya, “Dia sekali-kali takkan pernah menyia-nyiakan kami.”

Maka begitulah. Jalan cinta para pejuang selalu meminta kita memahkotai cinta dengan iman bercahaya. Ibrahim, kekasih Allah itu membuktikan cintanya. Demikian pula Hajar istrinya. Kalimatnya menjadi proklamasi iman sepanjang masa. “Kalau ini perintah Allah, sekali-kali Dia takkan pernah menyia-nyiakan kami.” Inilah perasaan hati yang bergejolak menjadi keteguhan. Perasaan yang menggantungkan diri pada Dzat Maha Tinggi, hingga melesat meloncati emosi-emosi. Inilah iman.

Tentu kita bisa membayangkan, sangat manusiawi jika Hajar tak terima ditinggalkan begitu saja di gurun terik tanpa tumbuhan, tanpa makan, tanpa kawan. Atau jika cemburu menguasainya lalu ia berkata, “Oh jadi kau tinggalkan kami di sini karena Sarah yang mandul cemburu padaku?! Jadi kini kami disia-siakan sementara kau akan bersenang-senang dengan istrimu yang lain?”

Subhanallah… Tentu saja ibunda Hajar jauh dari akhlak semacam ini. Tapi mari kita beranda-andai untuk menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Hajar bukanlah perkara yang mudah. Sama sekali tidak mudah. Dan jika keberatannya yang manusiawi itu ia turunkan, tentu kita tak mengenal zamzam, tentu tak ada sa’i antara bukit Shafa dan Marwa, tentu tak ada lempar jumrah, dan tak ada ibadah qurban. Dan kita pun mungkin urung menambah lafazh shalawat kita pada sang Nabi dengan “…Kamaa shallaita ‘alaa Ibraahiiim, wa ‘alaa aali Ibraahiiim…”

Inilah imannya perasaan. Iman yang bergerak menjangkahi segala emosi hati. Dimana nalar iman bekerja merantaskan segala logika jahili.

“Ya Rabb kami, sungguh telah kutempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tak bertanaman di dekat rumah-Mu yang dihormati. Ya Rabb kami, agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka,dan karuniakan pada mereka rizki dan buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur.”
[QS. Ibrahim: 37]

disadur dari Jalan Cinta Para Pejuang karya Salim A. Fillah

ps. Happy Idul Adha 1431 H! Semoga kita dapat menjadi bagian dari hamba-Nya yang ikhlas, seperti ikhlasnya keluarga Ibrahim :)

No comments: