Thursday, December 19, 2013

Kode // Genap-38 [Diorama-197]

Izinkan aku memulai cerita ini dari sepenggal akad yang kamu ucapakan di pelaminan. Bukan karena sebelum itu kita tak punya banyak cerita, tapi karena sebelum itu kita tidak saling bertanggungjawab atas diri kita masing-masing. Kamu bukan tanggungjawabku, begitu sebaliknya. Apalah artinya repot-repot menghabiskan pikiran dan perasaan untuk seseorang, yang sebenarnya orang itu bukan tanggungjawabnya kita. Apalah hebatnya berkorban untuk seseorang, yang sebenarnya orang itu tidak layak atas pengorbanan kita. Bukan berarti tak boleh, hanya saja masih ada yang lebih berhak untuk bersemayam dalam pikiran dan perasaan kita, masih banyak yang lebih layak untuk mendapatkan pengorbanan kita; keluarga kita, orang-orang terdekat kita, orang-orang yang selama ini begitu berarti bagi kehidupan kita, mereka-mereka yang memang menjadi tanggung jawabnya kita. Bukan orang lain yang entah siapalah.

Memang sudah selayaknya seorang perempuan menitikkan air mata, ketika seorang laki-laki mengucapkan akad untuk menggenapinya. Bagaiamana tidak, akad adalah prosesi penyerahan tanggungjawab dari orangtua kepada seorang laki-laki. Ketika seorang perempuan mendengarkan akad yang diucapkan laki-laki yang menggenapinya, saat itu juga tanggungjawab berpindah. Bayangkan, perempuan, makhluk yang selalu butuh kepastian mempercayakan dan menitipkan masa depannya pada seorang laki-laki yang belum begitu lama dikenalnya, menggantikan orangtua yang sudah dari lahir membersamainya. Ada rasa bahagia, sedih, khawatir, yang bercampur-aduk dalam satu waktu, yang sangat cukup menghasilkan zat bernama air mata. Akupun mengalaminya. Dan kamu tahu? Selalu ada perempuan lain yang menitikkan air mata lebih banyak daripada pengantin perempuan dalam seremoni sakral itu; perempuan yang biasa aku panggil dengan sebutan mama.

Aku pikir sederhana saja, ibu manapun akan sedih berpisah dengan anak perempuan yang dilahirkannya, dengan anak yang selama ini membersamainya. Tapi ternyata, masalahnya tidak sesederhana itu. Setidaknya bagi mama. Aku baru mengerti betapa rumitnya hubungan itu, betapa sulitnya melepaskan orang yang kita cintai walaupun itu untuk kebahagiaannya, betapa dibutuhkan keikhlasan tingkat tinggi untuk melepaskan peran yang sudah berpuluh-puluh tahun melekat. Dan aku baru tahu belakangan, betapa seorang ibu membutuhkan kesiapan yang lebih untuk menikahkan anak perempuannya, daripada si anak itu sendiri.

Laki-laki yang menggenap masih bertanggungjawab atas ibunya, bakti utamanya masih tetap ibu. Bahkan di beberapa kasus, seorang laki-laki yang sudah menikah, harus mengambil peran sebagai ayah dalam keluarganya. Sedangkan perempuan, ketika ada laki-laki yang menggenapinya, pada saat akad terucap, perempuan itu menjadi tanggungan suaminya, bakti utamanya berpindah dari orangtua ke suami. Hak dan kewajiban seorang ibu otomatis berkurang banyak, saat anak perempuannya menggenap. Dan itu bukan perasaan yang sederhana. Seorang ibu yang belum siap melepaskan anak perempuannya, terkadang tidak bisa mengendalikin diri untuk tidak terlalu mencampuri urusan rumah tangga anaknya, masih merasa punya hak dan kewajiban yang sama sebelum anak perempuannya menggenap. Hak dan kewajiban yang sebagian sudah otomatis berpindah tangan melalui akad.

Mamapun pernah mengalami hal yang sama di awal-awal fase menggenap kita. Betapa beliau bersusah payah untuk menahan diri agar tidak terlalu mencampuri urusan rumah tangga kita, tapi di sisi lain betapa dia ingin mengetahui keadaan putri kesayangannya ini setelah menggenap, memastikan aku baik-baik saja. Sampai di satu titik, mama menemukan formula tersendiri dengan peran yang baru ini; mencampuri jika diminta, mengingatkan jika aku sudah keterlaluan, meluruskan jika salah, memberikan masukan jika dirasa perlu. Dan satu hal yang aku tahu, doanya tak pernah berkurang sedikitpun untukku.

Dulu sebelum aku hidup menggenap bersamamu, pernah ada seorang laki-laki yang mendekatiku. Dan sepertinya, dari komentar mama dari ceritaku bagaimana laki-laki itu mendekatiku, bagaimana latar belakang dan kepribadiannya, mama tidak terlalu suka dengan laki-laki itu. Sebenarnya, waktu itu aku juga masih bingung menyikapi laki-laki itu, sampai akhirnya mama memberikan kode dengan nasihatnya, kode yang sudah cukup jelas bagiku tentang ketidaksetujuan mama. Kode yang membuatku bersikap tegas pada laki-laki itu untuk tidak mendekati dan mengganggu hidupku lagi. Kata mama waktu itu;

“Perempuan yang baik, perempuan yang solehah, hanya layak dihargai dengan surga, Sayang. Jadi, siapapun laki-laki yang akan menggenapimu nanti, pastikan kamu yakin kalau dia bisa membawamu ke surga.”

Di kesempatan yang lain, ketika aku sangat risau dengan jodoh yang tak kunjung tiba, ketika aku sudah mulai lelah dengan segala upaya yang tidak menampakkan hasil, mama juga yang menguatkan dan memberikan kode sampai aku benar-benar mengerti urusan jodoh ini.

“Kita memang tak pernah tahu siapa ditakdirkan untuk siapa, tapi takdir tak selalu berupa intervensi Tuhan terhadap makhluk-Nya. Ada juga takdir yang disebut dengan sunatullah, takdir berupa hasil dari apa yang kita usahakan. Siapa jodoh kita memang sudah tercatat rapi di lauhul mahfudz sana, tapi bagaimana seseorang sampai pada jodohnya tentu saja tergantung dari usahanya. Jika belum sampai, mungkin itu adalah kode, kalau ada sunatullah yang belum dipenuhi, ada ikhtiar yang masih belum disempurnakan, ada doa yang tak sempat dilantunkan. Bahkan jika merasa segala upaya sudah dicoba, tapi tak kunjung jua sampai pada jodohnya; tetaplah berusaha dan berdoa. Jangan khawatir, karena ada pahala dalam setiap doa dan usaha, ada sederet kesabaran dalam proses menunggu, ada kekuatan yang tersembunyi dibalik ujian. Tetaplah berusaha, Sayang. Sambil menyerahkan segala urusan pada-Nya, maka yang terbaik akan datang dalam kehidupan kita. Entah itu urusan jodoh, atau yang lainnya.”

* * *

Jadi aku harap kamu mengerti, kenapa aku tetap menyediakan ‘ruang khusus’ untuk mama dalam kehidupan rumahtangga kita. Semoga itu tak mengurangi sedikitpun hak dan tanggungjawabmu selaku laki-laki yang menggenapiku. Dan aku harap, semuanya sudah jelas. Tak ada lagi pembahasan sejauh mana mama boleh mencampuri rumah tangga kita. Karena beliau sudah mengerti bagaimana seharusnya. 

bersambung…

*Disalin dari notes facebook milik Nazrul Anwar

No comments: