Saturday, September 25, 2010

Mengenali Masalah Tata Ruang

Sejumlah Masalah Tata Ruang

KOTA dan daerah pada dasarnya merupakan pengejawantahan budaya. Tom Turner (1996) menyebutnya dengan cultural-landscape, sebagai mosaik yang sarat dengan beraneka ragam karakter, sifat, kekhasan, keunikan, dan kepribadian. Karenanya, memahami sebuah kota atau daerah, pertama-tama yang harus dilakukan adalah memahami budaya dari berbagai kelompok masyarakat dan pengaruh dari tata nilai, norma, gaya hidup, kegiatan dan simbol-simbol yang mereka anut. Jelas, yang paling rumit dan kompleks adalah memahami perkotaan.

Mengapa? Sebab, dalam setiap kota yang merupakan melting-pot selalu terdapat pluralisme budaya. Dalam kondisi demikian, sulit dihindari benturan budaya yang rentan menciptakan kompleksitas dan kontradiksi. Akibatnya, tata ruang kota juga terentang antara homogenitas yang kaku dengan heterogenitas yang kenyal. Suatu bentuk yang gampang pemeriannya, tapi sulit pengejawantahannya.

Kerumitan lain, khususnya di perkotaan, berkaitan dengan dinamika perkembangan kota. Penduduk kota selalu berubah dan bergerak yang seringkali susah ditebak. Karena itu pola tata ruang kota yang terlalu ketat dan kaku, tidak akan bisa tanggap terhadap perubahan.

Mengatasi masalah semacam itu, suatu bentuk perencanaan yang open-ended akan dibutuhkan. Perencanaan model ini akan menentukan bagian-bagian tertentu dari sistem kota yang memberikan peluang bagi bagian lain, termasuk yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya, untuk bergerak spontan.

Perencanaan kota seperti itu juga akan memungkinkan penjabaran nilai, kebutuhan dan gaya hidup yang berbeda dapat berdampingan dalam satu lingkungan yang dinamik. Pengaruhnya, kelompok-kelompok penghuni kota yang berdatangan dengan mudah bisa menyesuaikan diri dan membentuk kembali secara kreatif organisasi ruang, waktu, makna, dan komunikasinya.

Namun sulit dibantah, para perencana kota yang menganut paham bahwa segala sesuatu harus direncanakan, dikontrol dan dipantau secara tegar, pasti akan menentang pola tersebut. Mereka beranggapan bahwa ekspresi individual atau kelompok yang dimungkinkan melalui perencanaan yang open-ended, bila dibiarkan akan menciptakan lingkungan yang kacau balau, berantakan, tidak teratur. Atau, dengan satu kata: jelek. ”We must get away from our haphazard way of doing things and sure that everything is planned down to the last detail,” begitulah kira-kira coleteh mereka. (Tapi saya setuju bahwa detail tetap diperlukan--Iftirar)

Padahal, pada kenyataannya, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sebuah kota yang ”down to the last detail” tidak hanya tidak mungkin, akan tetapi bahkan juga tidak diinginkan. Soalnya, banyak hal yang di luar dugaan muncul dengan tiba-tiba.

Kejadian dan perubahan, ekspresi dan improvisasi, merupakan faktor yang justru memanusiawikan lingkungan dan layak disalurkan perlu diberi wadah dan dikembangkan. Tentu saja, dengan catatan bahwa semua perubahan itu mesti dilandasi oleh itikad untuk menyejahterakan masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah yang berada di perkotaan.

Perencanaan kota yang open-ended akan menciptakan lingkungan yang memberikan tingkat kebebasan dan tindakan yang lebih bervariasi, di samping pelibatan masyarakat yang lebih besar, dan peluang untuk penyesuaian secara kreatif, bahkan modifikasi.

Di negara semaju Jepang pun tenda-tenda penjual bakso, bakmi, dan wedang ronde masih selalu didambakan keberadaannya karena konon berhasil menumbuhkan suasana akrab berskala manusia. Munculnya pun hanya pada saat-saat tertentu saja, biasanya malam hari. Lantas, kondisi seperti itu mereka sebut instant city alias kota dadakan. (Di Jakarta, warga bisa memberikan masukan untuk perencaan kota melalui Musrembang dan melihat RTRW di tiap kecamatan--Iftirar)

Sejumlah masalah
Perencanaan tata ruang selama ini masih cenderung berorientasi pada pencapaian tujuan ideal jangka panjang yang sering meleset akibat banyaknya ketidakpastian. Di sisi lain, masih banyak pula rencana yang disusun dengan pendekatan pemikiran sekadar untuk memecahkan masalah secara ad hoc yang berjangka pendek dan kurang berwawasan luas. Sering dilupakan bahwa short term gain akan berakibat pada long term pain. Seyogyanya pendekatan yang diambil mencakup keduanya. Ibarat melihat hutan sekaligus mengkaji pohon-pohonnya. Atau sebaliknya, melihat keunikan setiap jenis pohon, ditilik dalam konteks hutannya.

Rencana tata ruang yang baik tidak selalu menghasilkan penataan ruang yang baik pula bila tanpa didukung para pengelola perkotaan dan daerah yang handal, serta mekanisme pengawasan dan pengendalian pembangunannya pun kurang jelas.

Kecenderungan yang terjadi kini adalah perencanaan tata ruang terlalu ditekankan pada aspek penataan ruang dalam arti fisik dan visual, biasanya menyangkut tata guna lahan, sistem jaringan jalan dan infrastruktur atau prasarana lingkungan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan perencanaan komunitas (sosial-budaya) dan perencanaan sumber daya masih belum diperhatiankan sesuai porsinya. Demikian halnya dengan keterpaduan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan yang masih terkesan sebagai slogan atau hiasan bibir belaka, belum mengejawantah dalam kenyataan.

Kota dan daerah masih hampir selalu dilihat dalam bentuk hirarki pohon yang tampaknya saja sederhana, padahal dalam kehidupan sesungguhnya berbentuk hirarki-jaring yang sangat kompleks. Bisa jadi, hal tersebut disebabkan karena masih adanya arogansi sektoral dan egosentrisme wilayah yang cenderung menggunakan ’kacamata kuda’. Peran serta masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup pun masih sangat terbatas.

Grey areas, yaitu berupa rencana kawasan urban-design, yang sesungguhnya merupakan titik temu antara perencanaan kota yang berdimensi dua dengan perancangan arsitektur yang berdimensi tiga masih terjadi. Dengan kata lain, sesudah tersusunnya rencana kota mulai dari Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK), Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) dan Rencana Teknis Ruang Kota (RTRK), biasanya langsung meloncat ke perancangan arsitektur secara individual. Bahkan bila dirunut lebih lanjut, seringkali RUTRK dibuat lebih dulu ketimbang Rencana Tata Ruang Wilayah.

Yang cukup merisaukan adalah kekurangpekaan para penentu kebijakan, dan juga beberapa kalangan profesional, terhadap warisan peninggalan kuno yang pada hakikatnya merupakan bagian tak terpisahkan dalam sejarah perkotaan. Tergusur dan lenyapnya karya arsitektur langka yang estetis dan bernilai sejarah, berarti lenyapnya suatu babakan dari kisah perkembangan kota. Kota tanpa peninggalan arsitektur bersejarah, serupa saja dengan manusia tanpa ingatan.

Jalan keluarnya nampaknya perlu revitalisasi kawasan bersejarah yang perlu lebih digalakkan. Penekanan perencanaan kota dan daerah pun perlu seimbang dengan memperhatikan aspek lingkungan binaan dan pendayagunaan lingkungan alamiah.

Demikian halnya dengan tipisnya wibawa dan kekuatan hukum produk rencana tata ruang, cukup merisaukan. Tata ruang yang sudah tersusun dengan begitu saja dijungkirbalikkan karena adanya kehendak sesaat yang tidak konseptual. Nampaknya dimasa datang perencanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup perlu dilihat sebagai management of conflicts, tidak sekadar management of growth atau management of changes. Orientasi tujuan jangka panjang yang ideal perlu disenyawakan dengan pemecahan masalah jangka pendek yang bersifat inkremental.

Mekanisme development control yang ketat juga perlu ditegakkan, lengkap dengan sanksi bagi si pelanggar dan penghargaan bagi mereka yang taat pada peraturan. Hal lainnya, penataan ruang perlu dilakaukan secara total, menyeluruh dan terpadu. Model-model participatory planning dan over-the-board planning atau perencanaan lintas sektoral selayaknya dilakukan secara konsekuen dan berkesinambungan.

Demikian halnya dengan kepekaan sosiokultural para penentu kebijakkan dan para perencana seyogyanya lebih ditingkatkan. Sedangkan, kekayaan khasanah lingkungan alam mesti jadi perhatian dalam setiap setiap perencanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup.

Prof. Ir. Eko Budihardjo, MSc
Mantan Rektor Undip dan Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT)

Dikutip dari www.wawasasandigital.com

4 comments:

Dasril said...

artikel yang bagus qie2... kebtulan banget saya nge-lead u/ project evaluasi dan perencanaan program perbaikan lingkungan permukimn (MHT Plus) di jaktim dan Kep. Seribu. artikel ini satu dari surprizing u/ ngejawab mising link saya selama ini. makasih banget loh... Anwy, qie2 di Pemda jakarta, di bagian apa ya?

Iftirar said...

terima kasih Dasril...
oh ya? program darimana Das?

iya sama2, alhamdulillah kalo ngejawab, artikel itu diambil dari tulisannya prof. eko
kalau ada yang kurang jelas mungkin bisa ditanya ke Prof. Eko langsung

di bagian kepegawaian, nggak nyambung ya? hehe.. tapi belajar tata ruang itu seru banget!

Dasril said...

iye, gapape disambung-sambungin aje. ^^...

project dari kantor perencanaan pembangunan kota (kanpeko) Jaktim dan kanpeko kab.P. Seribu. tahun ini Pemda jakarta sedang mengevaluasi project MHT dari 2006-2010 untk di rancang lagi tahun depan. lembaga tmpt saya kerja diminta utk jadi konsultanya, dan saya yang ditunjuk u/ kordnatornya.

tadinya saya gak mau ambil cz kerjaan di aceh belum kelar. tapi mengingat bbrp [bujang2] khatulstiwa masih seret rejekinya, jadi ta' ambil deh dan saya ajak mereka, hehehe^^. itung2 bagi rejeki n pengalaman riset professional.

Anwy, di fb pernah saya liat foto bareng Pgwai Pemda DKI pas HUT jakarta n ada olan juga disna, apa dia juga di Pemda DKI?

Iftirar said...

hoo.. kapenko toh..
kerjain yang bagus ya das, nanti liat hasilnya, hahaha

yupii.. olan satu badan sama saya, di kepegawaian juga
bedanya olan di sekretariat, saya di kesra

dan perbedaan lain tentu saja bahwa olan lebih tua, hoho..

ps. bujang nih yeee